“EMPATI”, salah satu dimensi kepuasan pelanggan yang sering terabaikan
Sumber daya manusia (SDM) memiliki peran yang penting untuk keberlangsungan hidup suatu organisasi. Bahasan mengenai SDM menjadi isu yang cukup krusial, mengingat besarnya pengaruh SDM terhadap suatu sistem dalam organisasi. Pada organisasi publik atau organisasi pemerintah output yang dijadikan ukuran adalah bagaimana pelayanan kepada masyarakat (pelayanan publik). UU nomor 25 tahun 2009 pasal 1 tentang penyelenggaraan pelayanan publik menjelaskan mengenai pengertian pelayanan publik adalah sebagai berikut,
“Pelayanan Publik adalah kegiatan atau rangkaian kegiatan dalam rangka pemenuhan kebutuhan pelayanan sesuai dengan peraturan perundang-undangan bagi setiap warga negara dan penduduk atas barang, jasa, dan/atau pelayanan administratif yang disediakan oleh penyelenggara pelayanan publik.”
Pelayanan publik selalu dituntut untuk mampu menciptakan pelayanan yang berkualitas, namun perlu dipahami bahwa pencapaian kualitas pelayanan publik bukanlah sesuatu yang sederhana dan mudah untuk dilakukan.
Kualitas pelayan publik yang dilakukan oleh instansi pemerintah di Indonesia beberapa masih belum memenuhi standart pelayanan yang ditetapkan. UU nomor 25 tahun 2009 pasal 1 menjelaskan mengenai standar pelayanan publik yang dimaksud adalah sebagai berikut,
“Standar Pelayanan adalah tolak ukur yang dipergunakan sebagai pedoman penyelenggaraan pelayanan publik dan acuan penilaian kualitas pelayanan sebagai kewajiban dan janji penyelenggara kepada masyarakat dalam rangka pelayanan yang berkualitas, cepat, mudah, terjangkau, dan terukur.”
Definisi di atas menegaskan bahwa unsur manusia yaitu penyelenggara pelayanan publik menjadi faktor determinan dalam penyelenggaraan pelayanan publik yang berkualitas. Dengan demikian kualitas pelayanan publik tergantung pada bagaimana penyelenggara pelayanan publik mampu memberikan pelayanan secara optimal sesuai dengan amanat UU tersebut.
Menurut Albrecht dan Zemke (dalam Dwiyanto, 2005:145) kualitas pelayanan publik merupakan hasil interaksi dari berbagai aspek, yaitu sistem pelayanan, sumber daya manusia sebagai pemberi pelayanan, strategi, dan pelanggan.
Menurut Parasuraman secara umum terdapat 5 dimensi kualitas pelayanan yaitu responsiveness, reliability, assurance, tanggible asset dan emphaty. Urgensifitas SDM dalam kelima dimensi tersebut adalah pada dimensi empati.
Banyak penelitian keterkaitan tentang responsiveness, reliability, assurance, tangible terhadap kualitas pelayanan namun tidak banyak yang membahas tentang empati dalam kualitas sebuah pelayanan.
Menurut pandangan Albrecht dan Zemke dalam Dwiyanto et al (2005) salah satu syarat kualitas pelayanan publik adalah pada aspek SDM dalam bentuk empati,
“dalam kaitannya dengan sumber daya manusia, dibutuhkan petugas pelayanan yang mampu memahami dan mengoperasikan sistem pelayanan yang baik. Disamping itu, petugas pelayanan juga harus mampu memahami kebutuhan dan keinginan pelanggan.”
Maksud dari memahami dan mengoperasikan sistem pelayanan yang baik merupakan bentuk dari konsep empati yang harus dimiliki oleh setiap pegawai dalam memberikan pelayanan publik. Hardiyansyah (2011:40) juga menjelaskan bahwa,
“konsep kualitas pelayanan dapat dipahami melalui perilaku konsumen, yaitu suatu perilaku yang dimainkan oleh konsumen dalam mencari, membeli, menggunakan, dan mengevaluasi suatu produk maupun pelayanan yang diharapkan dapat memuaskan kebutuhan mereka.”
Pernyataan ini menjelaskan bahwa untuk mengetahui pelayanan berkualitas atau tidak pegawai membutuhkan dimensi empati untuk mengetahui kebutuhan yang diinginkan oleh pelanggan. Hal ini sesuai dengan pendapat Goleman (1995:404) tataran yang paling tinggi dari empati adalah menghayati masalah-masalah dan kebutuhan-kebutuhan yang tersirat dibalik perasaan seseorang.
Salah satu indikator untuk memahami bagaimana dimensi empati dalam pelayanan publik adalah dengan mendeskripsikan sikap-sikap yang muncul dari petugas pelayanan. Memahami masyarakat berarti mampu memahami apa yang dibutuhkan oleh masyarakat sebagai pengguna pelayanan publik. Sekalipun tidak ada unsur profit namun pelayanan yang sesuai dengan harapan pelanggan merupakan hal yang mutlak harus ada dalam pelayanan publik.
Salah satu bentuk dari kemampuan memahami masyarakat adalah kemampuan petugas pelayanan dalam merespon kebutuhan masyarakat. Selain kemampuan petugas dalam merespon kebutuhan masyarakat, kemampuan lain untuk mencerminkan empati pegawai dalam bentuk memahami kebutuhan masyarakat dengan berdasarkan bagaimana cara petugas menanggapi dan mendengarkan keluhan masyarakat.
Sikap petugas yang mampu untuk mendengarkan keluhan dan juga mencoba untuk memberikan solusi terhadap keluhan tersebut merupakan perwujudan dari kemampuan memahami masyarakat. Indikasi lain yang digunakan untuk mengukur kemampuan memahami orang lain adalah sejauh mana petugas pelayanan dapat mengorbankan waktunya untuk melayanani masyarakat walaupun hanya sekedar memberikan sedikit informasi. Kesimpulannya adalah penyelenggara pelayanan publik harus memahami konsep empati terlebih dahulu sehingga dapat memberikan pelayanan publik yang berkualitas terhadap masyarakat.
Referensi
UU nomor 25 tahun 2009 tentang penyelenggaraan pelayanan public
Dwiyanto, Agus. 2005. Mewujudkan Good Governance Melalui Pelayanan
Publik. : Gadjah Mada University Press
Hardiansyah .2011. Kualitas Pelayanan Publik. Yogyakarta: Gava Media
Goleman, Daniel. 1995. Emotional Intelligence (kecerdasan emosionl, mengapa
EI lebih penting daripada IQ). Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama.