GAYA KEPEMIMPINAN MEMBENTUK GURU PROFESIONAL

GAYA KEPEMIMPINAN MEMBENTUK GURU PROFESIONAL

Oleh Surya Subur

(Widyaiswara BDK Banjarmasin)

1.  Pendahuluan

     Ada pameo yang sering kita dengar diantaranya: “suatu bangsa itu akan sangat tergantung kepada pemimpinnya”. “Mau dibawa kemana bangsa itu sangat tergantung pemimpinnya”. Dengan kata lain “maju mundurnya sebuah bangsa tergantung pada pola atau gaya pemimpinnya”. Disederhanakan dalam sebuah Lembaga Pendidikan bisa menjadi: “maju mundurnya sebuah madrasah/sekolah sangat tergantung pada kepala madrasah/sekolahnya” atau “arah dari sebuah madrasah/sekolah sangat tergantung pada arah pemikiran seorang kepala madrasah/sekolahnya”. Dan banyak lagi statement yang muncul seputar gaya kepemimpinan dalam membawa majunya sebuah organisasi termasuk bangs aitu sendiri.

    Gaya seorang memimpin tidak dapat dipungkiri memberikan arah jalannya organisasi. Gaya pemimpin yang sesuai dengan karakter masyarakat yang dipimpinnya memberikan motivasi tersendiri bagi warganya atau masyarakatya. Apabila terjadi di suatu lembaga pendidikan semisal madrasah/sekolah gaya kepemimpinan yang sesuai akan dapat membentuk pola kerja yang baik bagi guru. Guru akan memberikan segala potensinya untuk membantu kepala madrasah/sekolahnya. Kondisi inisudah barang tentu akan memberikan kepuasan kerja bagi guru itu sendiri.

      Kepuasan kerja guru dalam melaksanakan kerjanya dipengaruhi oleh banyak faktor yang salah satunya adalah kepemimpinan. Kepemimpinan kepala madrasah/sekolah yang terlalu berorientasi pada tugas, pengadaan sarana dan prasarana serta kurang memperhatikan profesionalisme guru dalam melakukan tindakan, dapat menyebabkan guru sering melalaikan tugas sebagai pengajar dan pembentuk nilai moral. Hal ini dapat menumbuhkan sikap yang negatif dari seorang guru terhadap pekerjaannya, dan pada akhirnya berimplikasi terhadap keberhasilan prestasi siswa di madrasah/sekolah menurun.

     Gaya kepemimpinan  yang cenderung berorientasi pada tugas lebih mengarah kepada otoritarisme keemimpinan sehingga bisa saja menghambat perkembangan ke profesionalan guru. Sebaliknya gaya kepemimpinan yang berorientasi kepada hubungan manusia bisa saja menghilangkan ‘kewibawaan’ seorang pemimpin. Keduanya bisa saja menghambat perkembangan keprofeionalan guru. Lalu pola seperti apakah yang dapat membentuk keprofesionalan guru?

 

2.  Permasalahan

     Permasalahan yang muncul adalah apakah gaya kepempimnan dapat membentuk profesionalisme guru? Gaya kepemimpinan seperti apa yang bisa langsung berpengaruh kepada profesionalisme guru? Inilah yang menjadi fokus menelitian ini.

3.   Pembahasan

     Gaya kepemimpinan ialah pola-pola perilaku pemimpin yang digunakan untuk mempengaruhi aktivitas orang-orang yang dipimpin untuk mencapai tujuan dalam suatu situasi organisasinya dapat berubah bagaimana pimpinan mengembangkan program organisasinya, menegakan disiplin yang sejalan dengan tata tertib yang telah dibuat, memperhatikan bawahannya dengan meningkatkan kesejahteraannya serta bagaimana pimpinan berkomunikasi dengan bawahannya.

     Gaya kepeminpinan menurut Hani Handoko membagi ada dua gaya kepemimpinan yaitu gaya dengan orientasi tugas (task oriented) dan gaya dengan orientasi karyawan (employed oriented )[1].   Gaya kepemimpinan yang berorientasi pada tugas adalah gaya kepemimpinan yang lebih menekankan pada tugas atau pencapai hasil. Gaya kepemimpinan ini ditandai dengan penekanan pada penyusunan rencana  kerja, penetapan pola, penetapan metode dan prosedur pencapaian tujuan. Sedangkan gaya kepemimpinan yang berorientasi pada hubungan manusia (people oriented ) adalah gaya kepemimpinan yang menekankan pada hubungan manusia dengan bawahan. Gaya kepemimpinan ini ditandai dengan penekanan pada hubungan kesejawatan, saling mempercayai, saling menghargai dan kehangatan hubungan antara anggota.

      Jadi gaya kepemimpin berorientasi tugas mengarahkan dan mengawasi bawahan secara tertutup untuk menjamin bahwa tugas dilaksanakan sesuai dengan keinginannya. Artinya lebih memperhatikan pelaksanaan pekerjaan daripada pengembangan dan pertumbuhan karyawan (bawahan). Sedangkan gaya kepemimpinan yang berorientasi pada bawahan mencoba untuk lebih memotivasi bawahan dibanding mengawasi mereka. Mereka mendorong para angggota kelompok untuk melaksanakan tugas-tugas dengan memberikan kesempatan bawahan untuk berpartisipasi dalam pembuatan keputusan, menciptakan suasana persahabatan serta hubungan–hubungan saling mempercayai dan menghormati dengan para anggota kelompok.

Pola gaya kepemimpinan yang kurang melibatkan bawahan dalam mengambil keputusan, akan mengakibatkan bawahan merasa tidak diperlukan karena pengambilan keputusan tersebut terkait dengan tugas bawahan sehari-hari.

Menurut House dengan teori path-goal berusaha menjelaskankan pengaruh gaya kepemimpinan terhadap motivasi, kepuasan dan pelaksanaaan pekerjaan bawahannya, Teori ini memasukkan empat gaya kepemimpinan, yaitu:

  1. Gaya kepemimpinan direktif, gaya ini sama dengan gaya kepemimpinan otokratif dari Lippit dan White. Bawahan tahu apa yang diharapkan darinya dan pengarahan yang khusus diberi oleh pimpinan. Dalam model ini tidak ada partisipasi bawahan.
  2. Gaya kepemimpinan yang mendukung (supportive leadership) kepemimpinan ini mempunyai kesediaan untuk menjelaskan sendiri, bersahabat, mudah didekati dan mempuunyai perhatian kemanusiaan yang murni terhadap bawahan.
  3. Gaya kepemimpinan partisipasif, pemimpin berusaha meminta dan menggunakan saran-saran dari bawahannya. Namun pengambilan keputusan masih tetap berada padanya.
  4. Gaya kepemimpinan yang berorientasi pada prestasi, kepemimpinan yang menetapkan serangkaian tujuan yang menantang pada bawahan untuk berpartisipasi, mencari perbaikan kinerja, menekankan kinerja yang luar biasa dan memperlihatkan kenyakinan bahwa bawahan akan mencapai standar yang tinggi.

   Istilah kepemimpinan banyak dikemukakan para ahli baik secara sempit maupun secara luas. Kepemimpinan merupakan faktor yang sangat penting dalam mempengaruhi prestasi kerja orang lain dalam organisasi dengan mana tujuan organisasi dapat tercapai. Kepemimpinan merupakan inti dari manajemen sedangkan manajemen inti dari administrasi. Pada umumnya kepemimpinan didefinisikan sebagai suatu proses mempengaruhi aktivitas dari individu maupun kelompok untuk mencapai tujuan dalam situasi tertentu. Dalam proses mempengaruhi orang lain seorang pemimpin harus memiliki dasar kemampuan serta terampil dalam menggerakkan bawahannya agar dapat bekerja secara maksimal

      Sondang P. Siagian mengemukakan bahwa"kemampuan dan keterampilan seseorang yang menduduki jabatan sebagai  pimpinan suatu unit kerja untuk mempengaruhi perilaku orang lain terutama bawahannya untuk berpikir dan bertindak sedemikian rupa sehingga melalui perilaku yang positif memberikan sumbangsih nyata dalam pencapaian tujuan organisasi."Kepemimpinan merupakan suatu produk daripada interaksi individu-individu dalam suatu kelompok, oleh karena itu kepemimpinan dapat diartikan suatu bentuk permasi atau pembinaan kelompok orang-orang tertentu. Biasanya melalui human relation dan motivasi yang tepat agar mereka mau kerjasama untuk memajukan tujuan organisasi[2]

    Kepala madrasah sebagai seorang pemimpin harus memperhatikan dan mempraktekkan fungsi kepemimpinan dalam kehidupan sehari-hari, fungsi-fungsi tersebut menurut Wahjosumidjo dalam Mulyasa,[3]  yaitu : (1) Kepala sekolah harus bertindak arif, bijaksana, adil atau dengan kata lain harus memperlakukan sama; (2) Sugesti atau saran kepada bawahan; (3) Memenuhi atau menyediakan dukungan yang diperlukan; (4) Berperan sebagai katalisator; (5) Menciptakan rasa aman; (6) Menjaga integritas sebagai orang yang menjadi pusat perhatian; (6) Sebagai sumber semangat.

     Menurut Wahjosumijdo dalam Mulyasa,[4]  mengemukakan bahwa kepala sekolah harus memiliki karakter khusus yang mencakup : (1) Kepribadian; (2) Keahlian Dasar; (3) Pengalaman dan pengetahuan professional; (4) Pengetahuan administrasi dan pengawasan.

Dari karakter tersebut seorang kepala sekolah harus memiliki kemampuan memimpin. Kemampuan menurut Gibson dkk[5]  adalah sifat yang dibawa lahir atau dipelajari yang memungkinkan seseorang menyelesaikan pekerjaannya.

Menurut Mulyasa[6] kemampuan yang harus diwujudkan kepala sekolah sebagai leader dapat dianalisis dari :

a.   Kepribadian

    Kepribadian menurut Gibson[7], adalah pola perilaku dan proses mental yang  unik, yang mencirikan seseorang. Kepribadian seorang kepala sekolah sebagai leader akan tercermin dalam sifat-sifat jujur, percaya diri, tanggung jawab, berani mengambil resiko dan keputusan, berjiwa besar, emosi yang stabil, teladan.

b.   Pengetahuan terhadap tenaga kependidikan

       Kepala sekolah dalam hal ini harus mampu memahami kondisi tenaga kependidikan (guru dan non guru), memahami kondisi dan karakteristik peserta didik, kependidikan, menerima masukan, saran dan kritikan dari berbagai pihak untuk meningkatkan kepemimpinannya.

c.   Pengetahuan terhadap visi dan misi sekolah

       Sebagai seorang pemimpin harus mampu mengembangkan visi sekolah, mengembangkan misi sekolah, dan melaksanakan program untuk mewujudkan visi dan misi ke dalam tindakan.

d.   Kemampuan mengambil keputusan

  Sebagai pemimpin kepala sekolah harus memiliki kemampuan dalam mengambil keputusan dalam menangani berbagai hal, misalnya mengambil keputusan bersama tenaga kependidikan di sekolah, mengambil keputusan untuk kepentingan internal sekolah, mengambil keputusan untuk kepentingan eksternal sekolah.

e.  Kemampuan berkomunikasi

       Komunikasi sangat penting untuk menjalankan tugas sebagai seorang pemimpin. Kepala sekolah harus mampu berkomunikasi secara lisan dengan tenaga kependidikan di sekolah, menuangkan gagasan dalam bentuk tulisan, berkomunikasi secara lisan dengan peserta didik, berkomunikasi secara lisan dengan orang tua dan masyarakat sekitar lingkungan sekolah. 

f.  Peran Kepala Madrasah/sekolah Dalam Meningkatkan Guru Profesional

     Sesuai dengan ciri-ciri madrasah/sekolah sebagai organisasi yang bersifat kompleks dan unik, maka peran kepala madrasah harus dilihat dari berbagai sudut pandang. Dari sisi tertentu, kepala madarsah dapat dipandang sebagai manajer, sebagai pemimpin dan juga sebagai pendidik. Sebelum masing-masing peran tersebut diuraikan, ada dua kata kunci yang dapat dipertegas kembali sebagai landasan untuk memahami lebih jauh peran kepala madrasah. Kedua kata tersebut adalah “Kepala” dan madrasah”. Kata “Kepala” dapat diartikan sebagai ketua atau pemimpin dalam suatu organisasi atau sebuah lembaga. Sedangkan “madrasah” adalah sebuah lembaga yang menjadi tempat menerima dan memberi pelajaran.

Uraian di atas memberikan gambaran kepada bahwa gaya kepemimpinan seorang kepala madrasah/sekolah dapat membentuk keprofeionalan guru dengan memadukan berbagai keterampilan pemimpin. Terutama gaya kepemimpinan yang berorientasi pada prestasi.

     Gaya kepemimpinan yang berorientasi pada prestasi, kepemimpinan yang menetapkan serangkaian tujuan yang menantang pada bawahan untuk berpartisipasi, mencari perbaikan kinerja, menekankan kinerja yang luar biasa dan memperlihatkan kenyakinan bahwa bawahan akan mencapai standar yang tinggi. Dengan berpedoman pada gaya ini, kepala madrasah dapat sekaligus mendorong guru meningkatkan profesionalismenya. Walaupun sesungguhnya gaya lain tetap melekat dalam diri seorang pemimpin. Sehingga dapat dikatakan kepemimpinan yang mendekati ideal dalam sebuah lembaga madrasah/sekolah adalah kepemimpinan situasional, dimana pemimpin akan menerapkan gaya kepemimpinannya dengan melihat kondisi orang yang dipimpinnya seraya menekankan pada tujuan organisasi.

 

4.  Simpulan

   Kepemimpinan senantiasa berorientasi tugas akan sangat memperhatikan akan penyelesaikan tugas bawahan dengan baik, pendistribusian tugas yang merata sesuai dengan tugas dan fungsinya, serta mengamati tugas dan fungsi tersebut hingga terselesaikan dengan baik. Demikian  juga yang berperilaku hubungan lebih banyak melakukan hubungan secara intensif kepada bawahan, melakukan kontrol dengan baik, selalu mengutamakan komunikasi untuk menyelesaikan tugas-tugas bawahan.  Dalam hal ini segala sesuatu yang berhubungan dengan kebijakan kepala madrasah/sekolah senantiasa melibatkan bawahan atau guru-guru dalam memutuskan untuk menjadi sebuah ketetapan.

    Kepemimpinan yang menekankan pola hubungan sepertinya tidak mempunyai ketegasan dalam memimpin atau dianggap tidak mampu memutuskan sendiri sebagai seorang pemimpin, karena selalu melibatkan bawahan. Namun, pada dasarnya kepemimpinan yang baik itu tidak mengakomodir satu gaya kepemimpinan saja, tetapi  memadukan gaya-gaya atau perilaku tersebut ke dalam satu model kepemimpinan. Atau dengan kata lain seorang pemimpin yang efektif harus menggunakan kepemimpinan yang berbeda, jadi tidak tergantung pada satu pendekatan untuk semua situasi.

     Pandangan ini mengisyaratkan bahwa seorang kepala madrasah harus mampu membedakan gaya-gaya kepemimpinan, membedakan situasi, menentukan gaya yang sesuai untuk situasi tertentu serta mampu menggunakan gaya tersebut secara benar.

    Oleh karena itu, analisis perilaku pemimpin itu menjadi pusat studi untuk mengetahui keabsahan teori tersebut, dimana perilaku dilihat di dalam situasi tertentu. Dari analisis perilaku pemimpin tersebut, diharapkan dapat diidentifikasi unsur-unsur kepemimpinan yang dapat dipelajari dan dilaksanakan.

 

5.   Bahan Bacaan

Hani Handoko. 1999.,  Manajemen Edesi ke-2. Yogyakarta : BPEE

Sondang P. Siagian, 2005.,  Motivasi,dan Aplikasinya. Jakarta: Rineka Cipta

Gibson. 2001., Organisasi : Perilaku Struktur, Proses, Edisi 8 Jilid 1. Jakarta Barat: Binarupa Aksara,

Veithzal Rivai dan Deddy Mulyadi, 2011., Kepemimpinan dan Perilaku Organisasi, Jakarta:RajaGrafindo Persada

Stephen P Robbin, 1996., Perilaku Organisasi. Kalten: PT.Intan Sejati.

Mulyasa, E. 2003, Menjadi Kepala Sekolah Profesional Bandung: PT. Remaja Rosdakarya,

 

 

[1]Hani Handoko.  Manajemen Edesi ke-2, (Yogyakarta : BPEE, 1999) h. 229

[2] Sondang P. Siagian , Motivasi,dan Aplikasinya (Jakarta: Rineka Cipta, , 2005). h.27

[3] E. Mulyasa.  Menjadi Kepala Sekolah Profesional, h. 105

[4] Ibid.  h. 115

     [5]Gibson. Organisasi : Perilaku Struktur, Proses, Edisi 8 Jilid 1, (Jakarta Barat: Binarupa Aksara,  2001) h. 54

[6] E. Mulyasa, Menjadi Kepala Sekolah Profesional  h. 116

     [7] Gibson, Organisasi : Perilaku Struktur, Proses, Edisi 8 Jilid 1 h. 54