MODERASI BERAGAMA DALAM MASYARAKAT PLURAL

MODERASI BERAGAMA DALAM MASYARAKAT PLURAL

Oleh : Yasir Arafat HZ

A.      Pendahuluan

     Sebagai sebuah negara yang besar dan pluralistik,Indonesia kaya dengan budaya, adat istiadat atau tradisi, suku atau etnis,bahasa dan agama. Ini sebuah anugerah Tuhan YME yang patut disyukuri. Kekayaan budaya, adat istiadat atau tradisi, suku atau etnis,bahasa dan agama dapat menjadi modalitas membentuk karakter masyarakatnya yang demokratis dan pengejawentahan sikap kearifan lokal (local wisdom).  Demokrasi dan kearifan lokal (local wisdom) dapat menjadi perekat untuk menjaga kerukunan inter dan antarumat beragama di Indonesia.

      Selain demokrasi dan kearifan lokal (local wisdom), ada perekat lain bagi kerukunan inter dan antarumat beragama di Indonesia, yaitu melalui moderasi beragama. Moderasi beragama yang bermakna tawazun, tawasuth,tasamuh dan i’tidal diharapkan  dapat menjadi formula yang ampuh. Moderasi beragama jika dikembangkan dengan baik dan dipahami dengan benar oleh seluruh pemeluk agama akan dapat menjaga kerukunan inter dan antarumat beragama, terutama bagi masyarakat yang plural.

      Sebuah fakta yang tidak dapat dipungkiri baik secara historis maupun sosiologis, Agama Islam merupakan agama mayoritas penduduk di Indonesia. Meski demikian, di tingkat kabupaten/kota, ada mayoritas umatnya yang beragama Kristen, Katolik, Hindu, Buddha dan Konghuchu. Bermacam agama tersebut dijamin oleh negara dalam undang-undang dan eksistensi agama-agama di atas merupakan pelangi indah yang mampu memperkaya khazanah kehidupan keagamaan di Indonesia. Bermacam agama dan eksistensi agama-agama yang ada apabila hanya sebatas ritualistik-simbolik tetap akan memancing potensi kerawanan dan ancaman bagi persatuan dan kesatuan bangsa.

     Masyarakat yang plural ditambah dengan pemahaman agama pemeluknya yang masih sempit, dapat menjadi trigger potensi kerawanan dan ancaman perpecahan. Sebagai sebuah Negara dengan budaya, adat istiadat atau tradisi, suku atau etnis,bahasa dan agama yang beragam, konflik keagamaan dapat terjadi di Indonesia, terutama dipicu dengan adanya sikap keberagamaan sebagian umatnya yang eksklusif.

      Pada dasarnya semua   agama   mengajarkan pada pemeluknya   perdamaian  dan tidak  menolerir kekerasan, dengan alasan apapun. Namun  kenyataannya  ada    oknum yang merencanakan, melakukan  atau mendukung aksi-aksi kekerasan  atas nama agama. Sehingga citra sebuah agama rusak dan hancur. Efek domino dari kehancuran rubuh satu sirna banyak. Citra agama atau simbol-simbol keagamaan dibawa-bawa, untuk tujuan tertentu, yang pada ujung-ujungnya disandarkan sebagai sumber awal konflik dan penuh kekerasan. Agama itu hanif,jika ada yang membelokkan agama untuk tindakan kekerasan dan anti damai, bukan agamanya yang salah, tetapi oknum yang membawa-bawa agama itu yang perlu dibina keberagamaannya.

B.       Pembahasan

      Secara sederhana, makna moderasi beragama dapat dipahami sebagai sikap dan perilaku  selalu  mengambil  posisi  di  tengah-tengah  (wasathiyah),  selalu  bertindak adil, dan tidak ekstrem kanan atau kiri dalam praktik beragama. Mantan Menteri Agama, Lukman Hakim Saifuddin pernah menyatakan bahwa “agama sudah sempurna namun memahami kesempurnaan dalam agama itu menjadi problem tersendiri dengan kata lain cara memahami yang sempurna ini bisa jadi terperosok pada titik ekstrem dikarenakan keterbatasan manusia dengan sisi pandang yang berbeda. Dalam moderasi beragama yang dituntut adalah kearifan bukan keseragaman yang pada gilirannya agar orang jangan sampai mendegradasi manusia lainnya”.

     Kata wasathan diartikan moderat sedang moderasi menjadi kata sifat yaitu sikap atau pikiran yang berada di jalan tengah. Menurut ahli tafsir, pengertian wasathan mencakup tiga arti: (1) Baik karena berada di antara dua makna ekstrim; (2) Menjadi penengah/wasit; dan (3) Adil.

      Moderasi beragama sama sekali bukan berarti kita kompromi untuk menukarkan aqidah atau keyakinan, akan tetapi saling menghormati, saling menghargai, saling mendengarkan tentang agama dan keyakinan orang lain. Intinya  lebih mencari titik temu ajaran agama, daripada memperbesar perbedaan agama dan ajaran agama. Sejak awal kita sudah berbeda, maka perbedaan bukan menjadi faktor tidak bisa mewujudkan kerukunan, malah sebaliknya dengan perberbedaan kita buktikan dapat rukun dan damai.

     Supaya pemahaman kita jangan salah dalam mendefiniskan makna moderasi, maka beberapa ahli menggarisbawahi bahwa konsep moderasi sangat erat kaitannya dengan toleransi, karena makna toleransi merupakan usaha yang sungguh-sungguh bersedia menghormati, menghargai dan menerima perbedaan yang ada pada orang lain atau agama lain. Dalam beragama, kesediaan menghormati, menghargai dan menerima seperti itu sama sekali tidak berarti mengurangi, atau menghilangkan dogma pokok-pokok dalam ajaran agama       Kemudian timbul pertanyaan, apakah moderasi itu hanya kebutuhan warga Negara Indonesia? Moderasi beragama bukan hanya kebutuhan warga Negara Indonesia saja, melainkan juga kebutuhan seluruh umat manusia di muka bumi. Ini menunjukkan bahwa hidup rukun dan damai adalah sebuah keniscayaan. Perserikatan Bangsa Bangsa (PBB) telah menetapkan tahun 2019 sebagai “Tahun Moderasi Internasional” (The International Year of Moderation). Sejalan dengan komitmen Kementerian Agama untuk terus menggaungkan dan “membumikan” moderasi dalam konteks beragama.

    Sejatinya, semua pemeluk agama harus selalu bersikap mengambil jalan tengah (tawassuth) hal ini dapat menjadi solusi atas  sikap eksklusif, intoleransi  dan  ekstremisme  dalam  beragama.  Penting dipahami bahwa agama menempati posisi sentral dan mempunyai peran yang sangat kuat dalam kehidupan masyarakat Indonesia. Dalam kehidupan masyarakat yang plural, baik agama,etnis, adat istiadat,budaya dan bahasa  mengharuskan pelaksanaan moderasi beragama dalam berbagai aspek kehidupan, yang bisa mulai dari tingkat daerah sampai pusat. Disinilah pentingnya peran dan fungsi tokoh agama dan penyuluh agama, untuk ikut memberikan kontribusi positif  dan konstruktif bagi umat beragama.

      Sebagai tanggung jawab para tokoh agama dan penyuluh agama, maka mereka perlu memikirkan bagaimana mengatasi  problem  keberagamaan umat. Diantaranya dengan memperbanyak   literatur   bacaan   (literasi) keagamaan   yang   ringan   tetapi   menggambarkan kedalaman khazanah pengetahuan keagamaan, tentu saja bersumber dari referensi yang dapat dipertanggungjawabkan. Karenanya, semangat moderasi beragama bisa diwujudkan dengan cara menyediakan bacaan berimbang terkait pemahaman keagamaan. Kemudian memperbanyak volume dialog lintas agama, baik tingkat daerah maupun tingkat pusat. Dan yang terpenting pesan-pesan agama tidak hanya keluar dari rumah-rumah ibadah,seperti masjid, gereja, vihara,pura dan kelenteng, namun hendaknya di semua tempat yang bisa diakses publik secara massif.

C.       Penutup

     Konsep moderasi beragama bukanlah memaksakan orang lain agar melaksanakan pemahaman agama kita kepada agama orang lain. Ini pemahaman yang keliru. Moderasi beragama adalah bagaimana mengimplementasikan nilai-nilai luhur ajaran agama yang diyakininya ke dalam kehidupan masyarakat yang plural. Untuk apa? Untuk mewajudkan kerukunan inter dan antarumat beragama.

      Tulisan sederhana ini diharapkan dapat menjadi sumbangan pemikiran dalam memahami pentingnya kita, sebagai umat beragama bersama-sama membangun pemahaman keagamaan yang moderat, terbuka, dan toleran, serta menempatkannya dalam rangka menguatkan kembali rasa cinta, berbangsa dan bernegara dalam bingkai Negara Kesatuan Republi Indonesia (NKRI).

Salam Moderasi.

 

 

DAFTAR PUSTAKA

 

  1. Alam, Rudy Harisyah,2000. Studi Berbasis Surat Kabar Tentang Konflik Keagamaan di Indonesia Bagian Barat.2004-2007. Penamas Vol.XXII No.2, Tahun 2009.
  2. CHD, 2017. Understanding, Negotiating, and Mediating Conflict. Trainers Manual on Conflict Resolution: A. Foundation Course.
  3. Panggaebean, Rizal dan Titik Firawati.2004. Keterampilan Mediasi dalam Bahan Workshop Manajemen Konflik Berbasis Sekolah. 23-26: Jakarta Balai Litbang Agama Jakarta.
  4. Bahan ToT Moderasi Beragama, 2019. Pusdiklat Tenaga Teknis Pendidikan dan Keagamaan Badan Litbang dan Diklat Kementerian Agama Jakarta.

 

 

 

 

 

 

Tentang Penulis: Nama Yasir Arafat. Lahir di Banjarmasin , 4 Juli 1970. Pendidikan : Pondok Pesantren Al Falah Banjarbaru (1990). S-1 Fak.Syariah IAIN/UIN Antasari Banjarmasin (1995). Mendapat beasiswa Kanwil Kemenag Prov. Kalsel kuliah S-1 FKIP ULM Banjarmasin Jurusan Bahasa dan Sastra Indonesia/Daerah (2003). Melanjutkan  S-2 FKIP ULM Banjarmasin Jurusan Bahasa dan Sastra Indonesia/Daerah (2005). Pengalaman: Guru Honor MA Muallimin Darussalam Martapura (1996-2006). Dosen Honor IAIN/UIN Antasari Banjarmasin (2001-2003) Dosen tetap STAI Al-Falah Banjarbaru (2007-sekarang). Status: PNS Balai Diklat Keagamaan Banjarmasin (2006-sekarang). Jabatan: Widyaiswara Ahli Muda Balai Diklat Keagamaan Banjarmasin. Alumni: (1) ToT Moderasi Beragama Angkatan 1 tahun 2019 Pusdiklat Tenaga Teknis Pendidikan dan Keagamaan Badan Litbang dan Diklat Kementerian Agama Jakarta. (2) Tim Nulis Bareng (NuBar) Area Kaltim #6 tahun 2016 dan (3) Komunitas Menulis Online (KMO) Batch 32 tahun 2020. Alamat: Komp.Perum. Al-Mumtaz Residence. Jln Hikmah Banua No.B1 Rt.005 Rw.001 Kode Pos 70249 Kota Banjarmasin Provinsi Kalimantan Selatan (Hp/WA: 087814506744).