“TQM” DALAM PEMBINAAN ASN BERWAWASAN PENGEMBANGAN SDM
“TQM” DALAM PEMBINAAN ASN BERWAWASAN
PENGEMBANGAN SDM
Oleh: Surya Subur*
- PENDAHULUAN
- Latar Belakang
Istilah manajemen mutu terpadu berasal dari istilah Total Quality Manajemen (TQM) yang pertama kali diperkenalkan oleh Nancy Waren (behavioral scientist) dan didokumentasikan oleh Walton (Tjiptono, 1999). TQM dalam dunia usaha didefinisikan oleh Ishikawa (Tjiptono, Diana, 1999) sebagai : perpaduan semua fungsi organisasi ke dalam falsafah holistik yang dibangun berdasarkan kualitas, team work, productivitas dan kepuasan pelanggan. Sementara Hardjosoedarmo (1977: 4) menyatakan bahwa TQM adalah suatu pendekatan yang seharusnya dilaksanakan oleh organisasi masa kini untuk memperbaiki kualitas outputnya, menekankan biaya produksi dan meningkatkan produktivitasnya. Secara sederhana Mien Saleh menyatakan bahwa manajemen mutu/pengendalian mutu adalah pengelolaan semua fungsi dan kegiatan yang perlu dilakukan untuk mencapai mutu yang diinginkan. Artinya ada suatu standar mutu yang ingin dicapai sebagai patokan untuk melakukan berbagai kegiatan semua fungsi organisasi.
TQM dalam dunia pendidikan secara tegas dinyatakan oleh Sallis (1993:26) menyatakan bahwa TQM is about creating a quality culture where the aim of every member of staf is to delight their custumer, an where the structure of their organization allow to do so.
Makna yang terkandung dari pernyataan ini adalah bahwa TQM dalam suatu organisasi sebenarnya adalah upaya membangun budaya kualitas dalam rangka memberikan kepuasan pada pelanggan (konsumen) dengan dukungan penuh seluruh komponen organisasi.
Dalam penyelenggaraan pelatihan dan pengembangan pegawai pengertian di atas disederhanakan ke dalam batasan: pengendalian mutu pendidikan adalah proses pengembangan dan pengendalian input-output dari desain, proses, pemasaran hingga pelayanan output. Ini berarti manajemen mutu mencakup keseluruhan kegiatan mulai dari perencanaan termasuk seleksi calon, proses pendidikan dan pelatihan, pemasaran lulusan, dan pelayanan pembinaan lulusan agar dapat memberikan kepuasan kepada pelanggan yang menggunakan output lembaga kediklatan yang bersangkutan.
Karakteristik TQM merupakan indikator yang mutlak dikenai oleh suatu organisasi yang akan melaksanakan TQM. Tanpa mengenali karakteristik khusus tersebut, maka akan sulit bagi organisasi atau lembaga untuk menentukan apa dan bagaimana malaksanakan TQM secara optimal. (Tjiptono, 1996:5). Karakteristik ini merupakan indikator sejauhmana suatu lembaga (termasuk lembaga kediklatan) melaksanakan dan atau tidak melaksanakan TQM. Ashwort dan C.Harvey (1994:13) menjelaskan beberapa prinsip Total Quality Management (TQM) sebagai berikut:
- pengenalan maksud dan tujuan standar;
- perlunya menetapkan standar kualitas, perencanaan dan misi strategis;
- kualitas harus direncanakan dan dikelola;
- sistem monitor berkelanjutan;
- fokus pada semua aspek;
- pengakuan adanya manfaat pengandalian mutu dan tersedianya sistem penjaminan;
- penekanan terhadap peningkatan kualitas;
- mengenali pentingnya program tim yang dilaksanakan;
- perlunya akuntabilitas institusi pelanggan seperti siswa dan karyawan;
- konsen pada nilai uang;
- mengenal bahwa ada tidaknya kualitas mempunyai konsekwensi ekonomi.
Narasi tentang TQM di atas hingga karakteristik yang diungkapkan seyogyanya akan tepat diperlakukan pada diri seorang ASN untuk menunjang proses kediklatan. Pemberlakuan TQM kepada ASN dalam sebuah lembaga menjadi penting dan diharapkan akan berpengaruh signifikan terhadap kinerja sekaligus pengembangan dirinya. Walaupun statement ini masih perlu dibuktikan secara ilmiah. Paling tidak dalam logika sehat TQM dalam pembinaan ASN diperlukan di era milenial sekarang ini. Bagaimana bentuk dan formulanya inilah yang akan menjadi topic pembahasan dalam tulisan sederhana ini.
- Permasalahan
Permasalahan yang ada dalam dunia birokrasi TQM masih dalam tahapan rencana atau bahkan belum dikenal dalam dunia birokrasi. ASN biasanya hanya dikenal dalam dunia industry, produktivitas kerja dalam sebuah perusahaan. Di lembaga pemerintah dimana ASN bekerja hal ini tidak pernah diperbincangkan karena tertutupi oleh system birokrasi yang sudah ada, yakni pembinaan disiplin dengan berbagai cara dan teknik oleh pimpinan atau maganer masing-masing. Kedisiplinan, kinerja, tanggungjawab, dan dedikasi cukup diatur dengan aturan atau job description masing-masing. Padahal akan lebih menghasilkan produktivitas jika prinsif-prinsif TQM diberlakukan didalamnya.
- Tujuan penulisan
Tujuan penulisan ini memberikan gambaran implementasi TQM dalam pembinaan ASN berwawasan SDM. ASNsebagai sumber daya manusia menjadi obyek sekaligus subyek pelayanan yang berorientasi kerja meningkatakan pembangunan. Karenanya perlu strategi kerja yang lebih terfokus oleh pimpinan lembaga salah satunya penerapan TQM dalam pembinaan ASN di lingkungannya.
- KERANGKA TEORITIK
Dalam uraiannya Nawawi (2005 : 47) menjelaskan bahwa manajemen mutu terpadu pada dasarnya adalah model penyelenggaraan dan pengelolaan sebuah lembaga atau organisasi dengan fokus pada budaya kerja dan kualitas kerja dari semua unsur/individu yang ada dalam organisasi. Keterlibatan dan keterikatan semua unsur organisasi dalam proses pengelolaan yang mengarah pada penciptaan budaya kerja dan budaya kualitas merupakan prasyarat utama dalam implementasi manajemen mutu terpadu. Peningkatan mutu dapat dicapai dengan memperbaiki kegiatan dan proses pelaksanaan kegiatan. Karena itu fokusnya pada aspek manusia, oleh sebab itu manajemen mutu terpadu dalam implementasinya menggunakan prinsip-prinsip ilmiah yaitu:
- Penggunaan 4 langkah siklus yaitu : merencanakan, melaksanakan, mengontrol, dan bertindak. Di negara maju yang sudah mengembangkan konsep ini seperti Amereka para pakar lebih menngenal dengan istilah PDCA.
PDCA adalah singkatan dari Plan, Do, Check, Act. Plan (rencanakan) maksudnya adalah menentukan tujuan dan proses-proses yang perlu untuk mencapai hasil sesuai dengan spesifikasinya. Do (lakukan) maksudnya adalah implementasi dari proses-proses yang sudah ditetapkan. Check (cek) maksudnya adalah memonitor dan mengevaluasi proses-proses dan hasil sesuai dengan tujuan yang ditetapkan serta membuat laporan terhadap hasil (outcome). Sedangkan act (tindakan) adalah melakukan tindakan-tindakan terhadap hasil (outcome) untuk perbaikan-perbaikan.
PDCA dipopulerkan oleh Dr. W. Edwards Deming, yang banyak kalangan menganggapnya sebagai pelopor pengendalian mutu modern. Konsep PDCA berasal dari metode ilmiah sebagai pengembangan dari karya Francis Bacon. Metode ilmiah tersebut dapat ditulis” hipotesis, eksperimen, dan evaluasi. Istilah lain pernah dikemukakan oleh Deming adalah Plan, Do, Study, dan Act (PDSA). PDSA harus diimplementasikan berualangkali dalam bentuk spiral dari meningkatnya pengatahuan tentang sistem yang mencakup tujuan akhir, masing-masing siklus lebih dekat daripada siklus sebelumnya. PDSA, dan masing-masing siklus lengkapnya menunjukan sebuah peningkatan dalam pengetahuan kita terhadap satu sistem yang dipelajari. Pendekatan ini adalah berdasarkan keyakinan kita bahwa pengetahuan dan keterampilan kita terbatas, tetapi meningkat.
Di Amerika pendekatan PDSA biasanya diasosiasikan dengan projek yang dapat diukur yang melibatkan banyak waktu, dan karena itu para manager ingin mencari pemecahan dan perbaikan untuk menyesuaikan usaha yang dilakukan. Tetapi, metode ilmiah dan PDSA diterapkan pada semua bentuk projek dan kegiatan-kegiatan perbaikan.
Kekuatan dari konsep Deming terletak pada kesederhanaannya yang jelas. Konsep umpan balik dalam metode ilmiah, dalam makna abstrak, sekarang berakar dalam pendidikan. Rupanya mudah untuk dipahami, seringkali sulit untuk menyempurnakan sebuah projek sedang berlangsung dikarenakan kesulitan intelektual untuk menilai sebuah usulan (hipotesis) berdasrakan hasil-hasil yang terukur. Banyak orang merasa takut dikatakan bersalah meskipun dengan pengukuran yang objektif. Untuk menghindari perbandingan-perbandingan seperti itu, kita harus menghindari, sifat mementingkan diri sendiri, merusak, kehilangan fokus,dan kurang komitmen.
Deming dalam bukunya yang berjudul “Total Quality Management In Education” mengemukakan ada 14 poin penting dalam pengembangan budaya mutu suatu organisasi/lembaga, yaitu :
- Ciptakan sebuah usaha peningkatan produk dan jasa, dengan tujuan agar bisa kompetitif dan tetap berjalan serta menyediakan lowongan pekerjaan. Deming percaya bahwa terlalu banyak organisasi yang hanya memiliki tujuan jangka pendek dan tidak melihat apa yang akan terjadi pada 20 atau 30 tahun mendatang.
- Adopsi falsafah baru. Sebuah organisasi tidak akan mampu bersaing jika mereka terus mempertahankan penundaan waktu, kesalahan, bahan-bahan cacat dan produk yang jelek. Mereka harus terus membuat perubahan dan mengadopsi metode kerja yang baru.
- Hindari ketergantungan pada inspeksi massa untuk mencapai mutu. Inspeksi tidak akan meningkatkan atau menjamin mutu ke dalam produk. Deming berpendapat bahwa manajemen harus melengkapi staf-staf mereka dengan pelatihan tentang alat-alat statistik dan teknik-teknik yang dibutuhkan mereka untuk mengawasi dan mengembangkan mutu mereka sendiri.
- Akhiri praktek menghargai bisnis dengan harga. Menurut Deming harga tidak memiliki arti apa-apa tanpa ukuran mutu yang dijual. Praktek kontrak yang hanya cenderung pada harga yang murah dapat menggiring pada kesalahan yang mahal. Metode yang ditawarkan mutu terpadu adalah mengembangkan hubungan dekat dan berjangka panjang dengan pensuplai, dan sebaiknya pensuplai tunggal, dan bekerjasama dengan mereka dalam mutu komponen.
- Tingkatkan secara konstan sistem produksi dan jasa, untuk meningkatkan mutu dan produktivitas, dan selanjutnya turunkan biaya secara konstan. Ini merupakan tugas manajemen untuk mengarahkan proses peningkatan dan menjamin bahwa ada proses perbaikan yang berkelanjutan.
- Lembagakan pelatihan kerja. Pemborosan terbesar dalam sebuah organisasi adalah kekeliruan menggunakan keahlian-keahlian orang-orangnya secara tepat. Mempergunakan uang untuk pelatihan tenaga kerja adalah penting, namun yang lebih penting lagi adalah melatih dengan standar terbaik dalam kerja. Pelatihan adalah alat kuat dan tepat untuk perbaikan mutu.
- Lembagakan kepemimpinan. Deming mengatakan bahwa kerja manajemen bukanlah mengawasi melainkan memimpin. Makna dari hal tersebut adalah berubah dari manajemen tradisional yang selalu memperhatikan hasil ~indikator-indikator prestasi, spesifikasi dan penilaian~ menuju peranan kepemimpinan yang mendorong peningkatan proses produksi barang dan jasa yang lebih baik.
- Hilangkan rasa takut, agar setiap orang dapat bekerja secara efektif. Keamanan adalah basis motivasi yang dibutuhkan para pegawai. Deming yakin bahwa pada hakikatnya setiap orang ingin melakukan kerja dengan baik asalkan mereka bekerja dalam lingkungan yang mampu mendorong semangat mereka.
- Uraikan kendala-kendala antar departemen. Orang dalam departemen yang berbeda harus dapat bekerja bersama sebagai sebuah tim. Organisasi tidak diperkenankan untuk memiliki unit atau departemen yang mendorong pada arah yang berbeda.
- Hapuskan slogan, desakan, dan target, serta tingkatkan produktifitas tanpa menambah beban kerja. Tekankan untuk bekerja giat mempresentasikan sebuah pemaksaan kerja oleh seorang manajer. Slogan dan target memiliki sedikit dampak praktis terhadap pekerja. Kebanyakan persoalan produksi terletak pada persoalan sistem dan ini merupakan tanggung jawab manajemen untuk mengatasinya.
- Hapuskan standar kerja yang menggunakan quota numerik. Mutu tidak dapat diukur dengan hanya mengkonsentrasikan pada hasil proses. Bekerja untuk mengejar quota numerik sering menyebabkan terjadinya pemotongan dan penyusutan mutu.
- Hilangkan kendala-kendala yang merampas kebanggaan karyawan atas keahliannya. Hal ini perlu dilakukan dengan menghilangkan sistem penilaian dan penghitungan jasa. Deming telah berupaya keras menentang sistem penilaian yang mana diyakini menempatkan pekerja dalam kompetisi antara satu dengan yang lain dan merusak kerja tim.
- Lembagakan aneka program pendidikan yang meningkatkan semangat dan peningkatan kualitas kerja. Semakin tahu, orang akan semakin giat bekerja. Staf yang berpendidikan baik adalah mereka yang memiliki semangat untuk meningkatkan mutu.
- Tempatkan setiap orang dalam tim kerja agar dapat melakukan transformasi. Transformasi menuju sebuah kultur mutu adalah tugas setiap orang. Ia juga merupakan tugas terpenting dari manajemen.
- Data empirik merupakan dasar dalam setiap pengambilan keputusan, menentukan prioritas dan perubahan-perubahan dalam organisasi. Tanpa data yang akurat dan valid maka keputusan yang diambil tidak akan memberikan dampak terhadap peningkatan mutu proses kegiatan serta hasilnya;
- Melakukan prediksi, sebagai upaya antisipasi untuk lebih menyempurnakan produk dimasa yang akan datang. Dengan demikian produk dan mutu yang dihasilkan akan selalu up to date dan sesuai dengan kebutuhan masyarakat serta selalu unggul dibandingkan dengan pesaing lainnya;
- Berfokus pada kepuasan pelanggan. Artinya bahwa segala kegiatan dan pelayanan harus selalu ditingkatkan secara terus menerus agar didapat kepuasan pelanggan. Dalam penyelenggaraan program pelatihan pegawai kepuasan para pelatih (widyaiswara), staf, dan peserta (partisipan) sebagai pelanggan internal adalah merupakan hal penting yang harus menjadi perhatian utama oleh setiap pimpinan lembaga atau organisasi. Makin tinggi kepuasan para pelanggan, akan memberikan kontribusi dalam meningkatkan mutu proses kegiatan yang mereka dilakukan;
- Lebih menekankan pendekatan siklus dalam memperbaiki organisasi. Konsep ini beranggapan bahwa perbaikan dan perubahan organisasi tidak dapat dilakukan seperti membalik telapak tangan, tetapi memerlukan waktu yang cukup berkelanjutan. Untuk itu maka perbaikan dan perubahan organisasi ditempuh melalui siklus tertentu atau menggunakan tahapan-tahapan perbaikan.
Dari konsep dan langkah tersebut, tampak bahwa penyelenggaraan program pelatihan dan pengembangan yang berorientasi mutu memerlukan persiapan yang matang terutama dalam kesiapan perubahan mendasar secara organisatoris serta perubahan mendasar dalam orientasi sumberdaya manusia di lembaga kediklatan.
Sukardi (2001) menyarankan kepada para pimpinan organisasi hendaknya mengakomodasi lima prasyarat penting untuk terjadinya Manajemen Mutu Terpadu sebagai berikut:
- Para pemimpin struktural dalam organisasi perlu memiliki pandangan jauh kedepan tentang arah dan haluan organisasi, mau dibawa kemana, apa yang ingin diwujudkan dan dicita-citakan oleh organisasi, kemana lembaga-lembaga pendidikan akan diarahkan. Dalam hal ini para pemimpin harus mengerti Visi, Misi, dan Tujuan institusinya masing-masing secara mendalam;
- Semua anggota organisasi mutlak memiliki kemampuan profesi yang mencakup kemampuan individual, kemampuan kelompok yang diciptakan secara sistematis melalui program pendidikan dan pelatihan. Artinya perlu pembinaan berkelanjutan melalui pelatihan dan pengembangan pegawai yang dilakukan oleh internal pimpinan organisasi, atau melalui kerjasama dengan lembaga-lembaga fungsional kediklatan di luar organisasi.
- Adanya apresiasi insentif baik materi maupun insentif psikologis seperti kemungkinan dan kemudahan promosi, penghargaan atas prestasi pekerjaan;
- Tersedianya sumber daya dan mekanisme penempatan yang sesuai dengan keahliannya masing-masing. Meskipun demikian perlu juga dipertimbangkan aspek psikologis seperti kemauan dan komitmen tugas selain keahlian dalam menempatkan seseorang pada pekerjaan tertentu. Keahlian saja tidak akan membawa orang berprestasi tanpa adanya kemauan dan komitmen yang kuat untuk berprestasi kerja;
- Adanya rencana kerja strategi yang tergambar dalam Visi, Misi dan tujuan orgainisasi seta rencana operasional (Renstra dan Renops).
Dalam kaitan ini, Sunu (1999) menyatakan ada beberapa hal yang perlu dipertimbangkan untuk membentuk lingkungan agar mendukung peningkatan mutu antara lain:
- mendorong dan mempertahankan suatu gaya manajemen yang mendukung;
- mendukung nilai-nilai, sikap dan sifat yang menumbuh kembangkan peningkatan;
- menetapkan secara jelas mutu yang diinginkan;
- mendorong komunikasi dan kerja yang efektif;
- pengakuan akan keberhasilan dan pencapaian;
- pelatihan dan pendidikan untuk peningkatan.
- TEMUAN DAN PEMBAHASAN
Dewasa ini pemikiran tentang manajemen ASN mengarah pada sistem manajemen yang dikenal dengan istilah TQM (Total Quality Management), di Indonesia oleh para pakarnya disebut Manajemen Mutu Terpadu. Implementasi TQM berarti semua anggota organisasi (lembaga) bertanggung jawab atas kualitas produk/lembaga tersebut dalam hal ini adalah pelayanan.
Prinsip TQM, menempatkan pelanggan atau masyarakat sebagai “klien” atau dalam istilah lain sebagai “stakeholders” yang terbesar, maka suara mereka harus disertakan dalam setiap pengambilan keputusan strategis. Misalnya melalui umpan balik dan masukan dari para pelanggan mengenai kualitas produk yang mereka harapkan. Tanpa suasana yang demokratis manajemen tidak mampu menerapkan TQM, yang terjadi adalah kualitas produk yang oleh pihak-pihak tertentu yang seringkali memiliki kepentingan yang bersimpangan dengan visi dan misi oerganisasi.
Implementasi TQM berarti pula adanya kebebasan untuk berpendapat. Kebebasan berpendapat akan menciptakan iklim yang dialogis antara pihak manajemen, ASN dan pelanggan dalam setiap pentahapan pengolahan produk pelayanan. Pentransferan pengetahuan, keterampilan dan keahlian tidak lagi bersifat one way communication, melainkan multy way communication. Ini berkait dengan efektivitas budaya kerja organisasi.
Selain kebebasan berpendapat juga harus ada kebebasan informasi. Harus ada informasi yang jelas mengenai arah dan haluan yang dituju oleh organisasi, baik secara internal maupun eksternal organisasi. Secara internal, manajemen harus menyediakan informasi seluas-luasnya pada semua pihak yang berkepentingan. Termasuk dalam hal arah organisasi adalah program-program, serta kondisi finansial singkatnya, TQM adalah sistem manajemen yang menjunjung tinggi efisiensi. Sistem manajemen ini sangat meminimalkan proses birokrasi. Sistem yang birokratis akan menghambat potensi perkembangan organisasi itu sendiri.
Di lingkungan organisasi nonprofit, khususnya pendidikan dan pelatihan, penetapan kualitas produk dan kualitas proses untuk mewujudkannya, merupakan bagian yang tidak mudah dalam pengimplementasian Manajemen Mutu Terpadu (TQM). Kesulitan ini disebabkan oleh karena ukuran produktivitasnya tidak sekedar bersifat kuantitatif, misalnya hanya dari jumlah lokal, gedung, laboratorium dan sarana lainnya yang berhasil dibangun, tetapi juga berkenaan dengan aspek kualitas yang menyangkut manfaat dan kemampuan memanfaatkannya. Untuk mencapai itu semua dibutuhkan seorang pemimpin yang memahami prinsif kerjanya secara optimal tentu saja dengan gaya kepemimpinan yang sesuai.
Gaya kepemimpinan partisipatif merupakan gaya yang sangat srategis untuk digunakan oleh pimpinan organisasi, tak terkecuali bagi organisasi atau lembaga-lembaga kediklatan yang tergolong sebagai institusi pemerintah. Dalam gaya ini menuntut kesediaan pimpinan lembaga (organisasi) untuk selalu terbuka dan melibatkan semua komponen warga lembaga pendidikan dalam setiap kebijakan yang dimulai dari analisis masalah, sampai pada tingkat perumusan kebijakan, bahkan dalam implementasi dan evaluasi pelaksanaan berbagai kegiatan merupakan hasil melibatkan semua orang dalam manajemen lembaga pendidikan.
Setiap institusi (lembaga) memiliki nilai-nilai sendiri yang berlainan antara satu lembaga dengan lembaga lainya. Nilai-nilai, sifat dan sikap individu dalam lembaga tersebut dapat bersifat positif maupun negatif. Hal-hal yang perlu ditumbuhkembangkan oleh manajer untuk mendorong tumbuhnya mutu adalah nilai-nilai positf seperti kerja keras, disiplin dan sebagainya. Dalam kaitan ini, maka peranan komunikasi pimpinan yang akrab dengan semua anggota organisasi dalam menghidupkan nilai positif merupakan kunci keberhasilan dalam mencapai mutu. Hal ini sesuai dengan apa yang dikatakan oleh para ahli komunikasi yaitu skill in human relation is a key to successful team effort. Bahkan ada yang menyatakan bahwa komunikasi adalah life blood in organization. Artinya, kalau ingin organisasi tetap hidup, tumbuh dan berkembang serta bermutu, maka faktor komunikasi merupakan hal pokok yang tidak dapat diabaikan.
Mutu apa yang akan dicapai, dan sampai dimana standar mutu yang diinginkan harus jelas dipahami dan disikapi oleh semua anggota organisasi. Tanpa pemahaman yang jelas tentang standar mutu yang diinginkan, akan terjadi perbedaan dalam bersikap dan bertindak yang pada gilirannya akan mempengaruhi pencapaian tujuan secara optimal.
Satu hal yang dapat membangun kebersamaan dan budaya mutu adalah adanya pengakuan dan penghargaan oleh pimpinan organisasi dan pihak terkait lainnya terhadap prestasi kerja yang dapat membangun mutu itu sendiri. Pengakuan dan penghargaan pimpinan terhadap prestasi kerja anggota organisasi adalah suatu hal yang mutlak dilakukan, mengingat semua manusia itu pada dasarnya memiliki kebutuhan psikologis dalam bentuk pengakuan dan penghargaan, sebagaimana yang dikemukakan oleh Herzberg Maslow.
Dalam kaitan dengan hal tersebut di atas, maka suatu institusi penyelenggaraan pelatihan pegawai secara optimal dapat mengimplementasikan manajemen mutu terpadu apabila didukung oleh beberapa hal pokok berikut ini:
- komitmen untuk bertindak bersama kearah pelayanan bermutu oleh Stakeholders yaitu instansi pengguna, ikatan wisyaiswara (IWI), alumni, organisasi profesi dan lain-lain dengan seluruh komponen pelaksana-pelaksana dan pengembangan pegawai. Untuk itu membangun komitmen bersama merupakan hal utama dan pertama yang harus dilakukan oleh seorang pimpinan lembaga pendidikan dan pelatihan pegawai. Komitmen bersama atau kebersamaan ini akan tumbuh apabila ada rasa saling percaya diantara anggota organisasi. Dan saling percaya ini akan muncul apabila ada kejujuran dan keterbukaan dalam pengelolaan program pelatihan pegawai. Ini berarti kunci komitmen bersama adalah : kejujuran, keterbukaan, dan kebersamaan;
- pimpinan organisasi perlu mengetahui secara jelas dimana posisi lembaga yang dipimpin sekarang dibandingkan dengan lembaga lainnya, dan bagaimana dengan posisi yang sekarang untuk mencapai posisi di masa depan. Untuk ini pimpinan lembaga perlu melakukan evaluasi diri dan melakukan analisis kekuatan, kelemahan, peluang, dan tantangan (SWOT Analisis);
- perlu dirumuskan secara tegas Visi, Misi adanya tujuan serta target yang ingin dicapai dalam kurun waktu tertentu berdasarkan hasil analisis swot dan evaluasi diri;
- rumuskan secara jelas dan rinci rencana kerja operasional bersama seluruh anggota dan pihak terkait (stakeholders);
- sosialisasikan apa yang telah dirumuskan tersebut kepada semua pihak agar mendapat persepsi yang sama pada semua orang, lebih-lebih kepada mereka yang akan melaksanakan apa yang telah dirumuskan.
Manajemen Mutu Terpadu (TQM) sebagai suatu pendekatan yang difokuskan pada peningkatan kualitas jasa dan produk secara terus menerus berpusat pada kebutuhan pelanggan, perbaikan pada proses keterlibatan anggota dalam rangka meraih kemenagan dalam persaingan dan menjaga eksistensi organisasi dalam era kompetitif. Meskipun sejak lahirnya konsep TQM lebih banyak diadopsi dan digunakan oleh dunia industri, ternyata hasilnya sangat bermanfaat bagi kemajuan perusahaan terutama dalam menjaga mutu. Tetapi dalam pengelolaan program pelatihan pegawai belum terlalu akrab dengan konsep tersebut, akibatnya mutu hasil pelatihan pegawai masih sangat memprihatinkan. Oleh sebab itu sudah saatnya kini dalam pengelolaan pelatihan mulai mencoba menggunakan konsep TQM, sebab konsep TQM yang sangat dikenal dalam dunia industri sebenarnya dapat diaplikasikan dalam pelaksanaan program pelatihan dan pengembangan pegawai untuk meningkatkan kinerja organisasi.
Total Quality Manajemen hanya akan berhasil kalau didukung oleh budaya organisasi yang dinamis, yaitu dengan penerapan PDCA dalam setiap lini pelayanan. Rencanakan model pelayanan (plan), laksanakan pelayanan sesuai SOP (do) lakukan kontrol setiap pelaksanaan pelayanan (check) dan melakukan tindakan-tindakan terhadap hasil (outcome) untuk perbaikan-perbaikan (act).
- PENUTUP
Implementasi TQM (Total Quality Manajemen) dalam pembinaan ASN di lingkungan Kediklatan dapat dilakukan dengan berorientasi pengembangan diri. Hal ini hanya akan berhasil kalau didukung oleh budaya organisasi yang dinamis, yaitu organisasi yang mengedepankan pengembangan warganya. Di samping itu, penerapan PDCA dalam setiap lini pengembangan dan pelayanan. Rencanakan model pelayanan (plan), laksanakan pelayanan sesuai SOP (do) lakukan kontrol setiap pelaksanaan pelayanan (check) dan melakukan tindakan-tindakan terhadap hasil (outcome) untuk perbaikan-perbaikan (act). Intinya adalah pembinaan ASN melalui TQM berwawasan SDM adalah adanya komitmen anggota organisasi untuk memperbaiki kualitas, melayani stakeholders, memuaskan pelanggan, mendorong inovasi staf, menyediakan channel informasi yang terkait dengan kualitas, memperbaiki sistem, menumbuhkan kebanggaan dan kerja tim serta menciptakan suasana inovasi dan perbaikan.
DAFTAR PUSTAKA
Aswort A, Roger C. Harvey, RC. 1995, Assessing Quality in Further and higher Education. London and Bristol, Pinnsylvania: Jessica Kingsley Publisher.
Hardjosoedarmo, Soewarso, 1997, Bacaan Terpilih Tentang Total Quality Management. Yogyakarta: Andy Yogyakarta
Nawawi, 2005., Manajemen Sumber Daya Manusia Untuk Bisnis yang Komptitif, Gadjah Mada University Press
Sunu, P. 1999. Peran SDM dalam Penerapan ISO 9000. Jakarta: Grasindo.
Sallis, E. 2006, Total Quality Management in Education (Manajemen Mutu Pendidikan, alih bahasa : Ahmad Ali Riadi dan Fahrurrazi), Jogjakarta : Ircisod.
Sukardi. 2001, Budaya Mutu dan Prospek Penerapannya Dalam Lembaga Pendidikan, Dalam Dinamika Pendidikan Nomor 2/Th.VIII November 2001: Yogyakarta: FIP UNY.
Tjiptono,F. 1997., Brant Manajemen Strategi, Jakarta: