Harmoni Agama dan Budaya di Indonesia
Oleh : Surya Subur
( Widyaiswara BDK Banjarmasin )
Pokok Pikiran:
Harmoni agama dan budaya di Indonesia dimaksudkan adalah terjadinya harmonisasi antara agama dan budaya. Agama merupakan keyakinan yang berisi tuntutan berkehidupan manusia. Di dalam alam semesta ini ada beberapa bentuk agama dimulai dari animism, dinamisme, politheisme dan monotheisme. Secara ringkas dijelaskan masing-masing model keyakinan atau agama yaitu monoteisme adalah kepercayaan kepada Tuhan global tunggal, di mana seorang monoteis berserah diri kepada Tuhan, karena percaya semua dari-Nya dan menuju pada-Nya; dan kembali pada-Nya merupakan penyucian. Animisme adalah kepercayaan kepada kekuatan gaib yang disebut dengan mana, tuah atau kesaktian, di mana seorang animis berorientasi menjadi sakti. Dinamisme adalah kepercayaan tentang roh-roh yang menempati setiap benda, di mana seorang dinamis berupaya berbuat baik pada roh-roh (anonim) dengan sesajen. Politeisme adalah kepercayaan terhadap dewa-dewa yang punya nama-nama tertentu dan kemampuan serta tugas tertentu. Dan Henoteisme adalah kepercayaan pada Tuhan nasional tunggal untuk kelompoknya saja. Yahudi yang meyakini Yahweh sebagai Tuhan yang memberikan kasih khusus untuk Bani Israel saja. (Nasution,2008, h. 4-12).
Konsep ketuhanan dalam berbagai masyarakat memunculkan bentuk peradapan tertentu yang tentu saja akan memperluas perbedaan antar masing-masing penganutnya. Dari agama-agama tersebut ada yang berasal dari langit yang disebut agama wahyu ada juga yang berasal dari hasil pemikiran mendalam oleh manusia suci disebut sebagai agama budaya.
Keyakinan beragama ini di Indonesia antara agama langit dengan agama budaya tidak bisa dipisahkan. Menurut Habib Husain Ja’far dalam penjelasannya mengatakan kebudayaan merupakan lingkup terbesar dari dimensi manusia, dimana agama merupakan bagian dari kebudayaan itu sendiri. Hanya saja manakal ada benturan antara kebudayaan dengan agama, maka agamalah yang harus dimunculkan karena agama merupakan bagian dari budaya itu sendiri. Inilah jalan menciptakan harmonisasi beragama di Indonesia.
Penerapannya
Implementasi dari keragaman budaya dengan agama menjadi harmoni tentu tidak terlepas para penganut agama-agama itu sendiri. Dipenghujung waktu Habib Husain Ja’far mengatakan. Tidak akan bisa terjadi harmoninasi manakala aspek kemanusiaan yang terdalam yaitu hati tidak diikutsertakan dalam beragama dan berbudaya. Hati merupakan kunci dari harmonisasi beragama atau agama dengan budaya. Manakala agama dibenturkan dengan budaya maka hendaknya agama bisa mewarnai atau menginfiltrasi budaya menjadi beragama. Ini tentu konotasinya adalah budaya dengan agama Islam. Budaya yang dimunculkan dalam kehidupan masyarakat tentu sudah menjadi tradisi yang mandarah daging artinya sudah diikuti secara tutun temurun sejak zaman nenek moyang. Agar tidak berbenturan dengan budaya agama yang kita yakini kebenarannya maka sikap perilaku kita adalah memasuki ranah budaya tersebut dengan nilai-nilai agama. Mencari akar masing-masing kekuatan lalu mencari jalan menyelesaian.
Suatu ketika penulis berhadapan dengan tradisi nenek moyang yang masih dinamisme walaupun sudah berislam. Artinya manusianya sudah berislam namun tradisi menyiapkan kopi pahit setiap malam Jum’at dengan alasan roh-roh gaib datang maka di jamu dengan minuman. Lama kelamaan akan menghilang dengan cara memberikan aktivitas yang bermuara pada tauhid dengan ritual pengajian rutin di malam Jum’at. Malam Jum;atnya tetap menjadi sakral menurut budaya nenek moyang namun aktivitasnya beralih kepada tausyiah dan membaca al Qur’an. Kebiasaan ini dirutinkan sehingga melupakan ritual membuatan kopi.
Suatu pengalaman rohani juga pernah dialami penulis manakala budaya berbenturan dengan agama. Di suatu tempat yang melanggengkan kesenian kuda lumping atau jaranan dalam budaya Jawa, biasanya ada tradisi budaya pelakunya apabila kesurupan bisa memakan apa saja termasuk hal yang berbahaya. Manakala agama menginfiltrasi ke dalam hasanah budaya tersebut dengan memberikan bekal ketauhidan kepada para pemain, maka lambat laun seni kuda lumping itu menjadi seni yang berbudaya islami. Para penarinya apabila mereka wanita sudah biasa menggunakan jilbab. Ini barangkali implementasi di lapangan yang bisa dijadikan harmonisasi antara budaya dengan agama. Ini saya kira implementasi yang menurut Habib Husain Ja’far, agama ditonjolkan atau dimenangkan apabila berbenturan dengan budaya karena agama bagian dari budaya itu sendiri. Wallahu’alam.