KEHILANGAN
Rindu seharusnya ada untuk yang ada.
Rindu terhadap yang tidak ada adalah kehilangan.
(Ustadz Muhammad Anas)
Semua yang kita miliki hanyalah “titipan” Allah swt. Dan cepat atau lambat kita akan merasakan kehilangan. Tidak ada satupun yang sudah menjadi takdir Allah swt., sia-sia. Pasti ada hikmah dibalik setiap kehilangan. Dari kehilangan kita dapat mengambil banyak pelajaran-pelajaran berharga, seperti lebih mendekatkan diri kepada Allah swt., memahami bahwa iradat Allah yang pasti terjadi dan menyadari bahwa semua tidak ada yang abadi, semua fana semua akan sirna.
Bagi orang tertentu melepaskan sesuatu memang tidak mudah, begitu juga dengan rasa kehilangan. Kehilangan seseorang yang spesial adalah momen paling sulit untuk dilalui. Sedih, pilu dan berujung stres seringkali menghinggapi saat kehilangan. Perasaan kehilangan itu muncul hanya kepada orang yang kita kenal secara baik, dan biasanya hal ini terjadi kepada keluarga, pasangan atau sahabat. Kecil kemungkinan kita merasakan kehilangan dengan orang yang sama sekali tidak kita kenal.
Mengapa hanya kepada orang yang akrab saja? Karena orang yang memberikan rasa kehilangan kemungkinan telah mengetahui sifat, sikap, dan kebiasaan orang tersebut, dan hal inilah yang kemudian berubah menjadi sebuah kenangan yang sulit untuk dilupakan. Kehilangan akan membawa kesedihan dan cenderung menyakitkan. Tapi kita juga harus optimis bahwa sedih dan sakit dapat disembuhkan.
Meski begitu, mau tidak mau, suka tidak suka, orang harus tetap melanjutkan hidup. Kadang, kehilangan tersebut juga mengajarkan tentang hal-hal baik yang justru menjadikan diri semakin kuat. Misalnya, kita menjadi paham bahwa ada hal-hal yang tidak bisa dipaksakan, atau dengan kehilangan kita bisa menerima kenyataan.
Cerita Nabi Ya’qub yang kehilangan putera kesayangannya Nabi Yusuf dapat kita jadikan ‘ibrah. Setiap dia mengingat Yusuf, seketika itu juga ia diliputi kedukaan yang mendalam. Nabi Ya’qub banyak menangis karena perasaannya yang terlalu hancur, hingga menyebabkan kebutaan. Allah berfirman dalam surah Yusuf:84. “ Dan dia (Ya’qub) berpaling dari mereka (anak-anaknya) seraya berkata, aduhai dukacitaku terhadap Yusuf, dan kedua matanya menjadi putih kerena sedih. Dia diam menahan amarah (terhadap anak-anaknya)”.
Menurut Suherni dalam muslim.com, ayat tersebut menjelaskan bahwa Nabi Ya’qub mengalami kebutaan akibat kesedihan panjang setelah kehilangan anak yang paling dicintainya. Kalimat “kedua matanya menjadi putih” maknanya, mata itu terkena cairan putih (katarak). Kedokteran modern menyimpulkan bahwa kesedihan yang berlebihan atau kebahagiaan yang meluap-luap dapat membuat mata mengalami katarak. Cairan putih ini menghalangi masuknya cahaya matahari ke dalam kornea mata. Dan kondisi ini bisa terjadi secara parsial atau total, tergantung kadar kegelapannya.
Nabi Ya’qub dapat melewati masa-masa sulit itu ketika diri berserah secara total kepada Yang Maha Perkasa, Mengadukan segala kesusahan dan kesedihan hati, hanya kepada Allah. Inilah yang menjadi kunci, sumber dari segala energi, yang dapat membuat manusia mampu bertahan dalam kesedihan, ketika digempur peristiwa menyakitkan paling dahsyat sekalipun.
Sebagai “penawar” rasa kehilangan, ada baiknya kita memahami surah al Baqarah: 216. “Boleh jadi kamu membenci sesuatu padahal ia amat baik bagimu. Dan boleh jadi (pula) kamu menyukai sesuatu, padahal ia amat buruk bagimu. Allah mengetahui, sedang kamu tidak mengetahui”.