KESOLEHAN SOSIAL BERGAMA

KESOLEHAN SOSIAL BERGAMA

Oleh : Surya Subur, M.Pd

          Kesolehan biasanya selalu dikaitkan dengan agama, yaitu orang-orang yang taat dalam melaksanakan ajaran agama. Istilah orang soleh adalah sebutan bagi orang orang yang sangat baik dalam menjalankan kehidupan beragamanya. Orang soleh adalah orang yang sangat taat dalam menjalankan agamanya. Demikian juga istilah  anak soleh yaitu anak selalu taat kepada agamanya dengan menjalankan segala perintah Allah dan menjauhkan segala larangan Allah. Anak soleh tidak sekedar taat dengan Allah dan Rasul-Nya melainkan juga taat dengan kedua orang tuanya sebagai implementasi nilai agama yang dipegang teguh olehnya. Juga anak soleh adalah anak yang dalam kehidupan sosialnya terlihat sangat baik, taat dalam menjalankan ibadah,  tutur katanya sopan, hormat kepada yang tua dan santun kepada sesama sangat berkasih sayang kepada anak-anak. Intinya kesolehan dalam arti beragama adalah wujud sebuah ketaatan dalam menjalankan nilai-nilai ajaran agama oleh dirinya. Kita memahami bahwa setiap agama mengajarkan nilai-nilai kebajikan atau kemuliaan.

           Sosial dalam memaknai judul di atas tidak lain adalah sistem bermasyarakat yang berorientasi pada nilai-nilai agama. Perilaku yang baik (soleh) yang diterapkan dalam kehidupan bermasyarakat (sosial).  Bisa juga dimaknai sebagai bentuk perilaku bermasyarakat yang bermuara pada nash atau aturan-aturan Allah melalui penerapan hadits-hadits Rasulullah (Islam) atau pandangan hidup bermasyarakat berdasarkan nilai-nilai agama yang dianut oleh masing-masing warga negara. Dalam sebuah tulisan Dr. Hj. Helmiati, M.Ag (2015) menuliskan tentang  “Kesalehan Sosial” adalah menunjuk pada perilaku orang-orang yang sangat peduli dengan nilai-nilai agama, yang bersifat sosial. Bersikap santun pada orang lain, suka menolong, sangat concern terhadap masalah-masalah umat, memperhatikan dan menghargai hak sesama; mampu berpikir berdasarkan perspektif orang lain, mampu berempati, artinya  mampu merasakan apa yang dirasakan orang lain, dan seterusnya. Kesalehan sosial dengan demikian adalah suatu bentuk kesalehan yang tak cuma ditandai oleh rukuk dan sujud, puasa, haji melainkan juga ditandai oleh seberapa besar seseorang memiliki kepekaan sosial dan berbuat kebaikan untuk orang-orang di sekitarnya. Sehingga orang merasa nyaman, damai, dan tentram berinteraksi dan bekerjasama dan bergaul dengannya. Dari ungkapan di atas, sesungguhkan kesolehan itu tidak terlepas dari sikap dan perilaku umat beragama yang selalu mengatasnamakan sosial dalam setiap tindakan atau perilakunya di masyarakat.

           Dari penjelasan di atas, kesolehan sosial hendaknya didasari atas kesolehan dalam memeluk agama masing-masing umat. Dari situ akan muncul implementasi kesolehan beragama ke dalam kesolehan sosial. Inti dari nilai-nilai agama yang menjunjung tinggi nilai-nilai sosial kemasyarakatan akan tercermin dalam perilaku individual masyarakat maka didapatkanlah apa itu kesolehan sosial.

Implementasi dari kesolehan sosial dapat dilihat dari bagaimana seseorang berperilaku atau bersikap dalam masyarakat beragama selalu menjunjung nilai-nilai sosial. Seseorang dikatakan soleh dalam beragama manakala dihadapkan pada situasi lingkungan tempat tinggalnya yang banyak kekurangan bahkan ada yang kelaparan sementara sosok soleh beragama ini tidak peduli akan nasib saudaranya maka ini dikatakan tidak memiliki kepekaan sosial atau kesolehan sosial padahal ia seorang penganut agama yang taat. Sesungguhnya orang yang mempunyai sikap atau perilaku yang soleh dalam beragama, ia tentu akan berpikir atau bertindak paling tidak sebagai motor penggerak untuk mengentaskan kemiskinan di lingkungan dimana dia berada. Ia sebagai motor penggerak mencari solusi terbaik bagi lingkungannya, selanjutnya bagi bangsa dan negaranya. Sebagai prasyarat untuk menjadi seorang yang soleh dalam sosial, diperlukan dulu soleh dalam beragama. Sebagai menjadi ‘salah’ arti jika soleh dalam sosial tetapi malah kufur dalam menjalankan nilai-nilai agamanya.

           Agama  menurut ahli berasal dari Bahasa Sansekerta “a” berarti “tidak” dan  “gama” berarti “kacau” artinya agama membuat sesuatu tidak kacau. Dengan demikian agama mengandung makna semacam aturan yang membuat penganutnya mempunyai acuan hidup yang membawa kehidupannya menjadi lebih terarah, terstruktur, dan menjamin kebahagiaan dunia dan akhirat. Agama berkaitan dengan keyakinan seseorang akan adanya zat yang maha pengatur, baik mengatur dirinya bahkan mengatur seluruh alam semesta yang menjadi tempat semua makhluk berhidmat kepada-Nya. Agama juga mengatur bentuk kepercayaan kepada hal gaib, juga mengatur tatacara berkehidupan sesama manusia. Agama adalah pegangan masing-masing individu dalam menjalankan keyakinan ruhaniahnya. Sebagai dasar seseorang berperilaku dan bersifat secara zahir maupun batinnya. Agama sebagai perekat sosial bagi penganut agama yang sama. Persaudaraan yang dikaitkan dengan agama mempunyai ikatan yang kuat. Karenanya wajar kalo kesosialan seseorang akan semakin baik manakala ia sebagai penganut agama yang taat atau baik. Menjadi tugas semua pihak untuk menciptakan ketaatan beragama bagi masing-masing individu untuk menguatkan kesolehan sosial di masyarakat.

            Lebih lanjut Helmiati, menyatakan bahwa sebenarnya kesolehan invividu dan kesolehan sosial itu merupakan suatu keniscayaan yang tak usah ditawar. Keduanya harus dimiliki seorang Muslim, baik kesalehan individual maupun kesalehan sosial. Agama mengajarkan “Udkhuluu fis silmi kaffah !” bahwa kesalehan dalam Islam mestilah secara total !”. Ya shaleh secara individual/ritual juga saleh secara sosial. Karena ibadah ritual selain bertujuan pengabdian diri pada Allah juga bertujuan membentuk kepribadian yang islami sehingga punya dampak positif terhadap kehidupan sosial, atau hubungan sesama manusia. Karenanya, kriteria kesalehan seseorang tidak hanya diukur dari seperti ibadah ritualnya shalat dan puasanya, zakat, atau naik hajinya, tetapi juga dilihat dari output sosialnya atau nilai-nilai dan perilaku sosialnya, seperti berupa kasih sayang pada sesama, sikap demokratis, menghargai hak orang lain, cinta kasih, penuh kesantunan, harmonis  dengan orang lain, memberi dan membantu sesama.

            Zakiah Darajat (2005), menguatkan bahwa agama adalah hubungan manusia dengan sesuatu yang diyakininya bahwa sesuatu tersebut lebih tinggi dari dirinya dan menjadi tempat ia mengadukan permasalahan hidupnya serta tempat ia sandarkan segala kehidupannya. Mengutip pendapat Glock dan Stark, Zakiah menambahkan bahwa agama menurut keduanya adalah sistem sismbol, sistem keyakinan, sistem nilai, sistem perilaku yang terorganisir, yang terpusat kepada persoalan-persoalan yang diyakini sebagai sesuatu yang bermakna. Penguatan yang disampaikan Zakiah sampai pada pemahaman bahwa agama memberikan kekuatan supranatural sebagai pilihan utama dalam menjalankan kehidupan ini. Menganut agama tertentu akan memberikan arah perilaku yang terorganisir sesame kelompoknya. Karena itu untuk membentuk jati diri yang soleh secara kelompok paling tidak membentuk organisasi kelompok ini menjadi soleh dalam agamanya. Sehingga dapat diharapkan nantinya soleh dalam sosialnya. 

Permasalahan

          Permasalahan yang muncul dalam kajian di atas adalah berkaitan dengan  hal pemaknaan kesolehan sosial beragama yang belum dapat difahami secara detail oleh masyarakat beragama. Kondisi ini terkait dengan istilah yang baru dikembangkan di dalam msyarakat, yaitu kesolehan sosial beragama. Pada intinya perilaku bersosial sudah diterapkan oleh masyarakat Indonesia yang multiagama dengan jargon toleransi beragama. Namun memaknai toleransi beragama masih dianggap belum memadai sehingga dimunculkan istilah kesolehan sosial dalam beragama. Sulitnya memahami makna kesolehan dalam beragama menjadi hal yang harus selalu diejawantahkan oleh figur-figur yang memegang nilai-nilai agama di masyarakat. Seperti dalam Islam para kiyai, mubaligh dan mubalighah atau penceramah atau da’i. Pada kalangan Kristen yakni fastur, pendeta serta pemangku agama lainnya. Mereka paling tidak mampu menterjemahkan apa itu kesolehan sosial beragama? Dan mengajak semua umat untuk mempraktikan dalam kehidupan sehari-hari. Seperti apa wujud nyata kesolehan sosial tersebut? Pertanyaannya sekarang adalah sudahkah faham ini sampai kepada mereka sehingga saat memberikan bimbingan kepada umat selalu diterapkan makna kesolehan sosial beragama ini?

Pembahasan

            Menurut Abdul Jamil, Wahab (2015), kesalehan berasal dari kata “saleh” yang dirangkai dengan awalan “ke” dan akhiran “an” yang berarti hal keadaan yang berkenaan dengan saleh. Kata “saleh” berasal dari bahasa Arab yang berarti baik. Beramal saleh berarti bekerja dengan pekerjaan yang baik. Sementara  ”Sosial” berarti masyarakat. Kata sosial berasal dari kata “society”, jadi sosial berarti bermasyarakat. Dengan demikian, kesalehan sosial berarti kebaikan dalam kerangka hidup bermasyarakat. Dari pengertian di atas, kesolehan sosial difahami sebagai kebaikan-kebaikan yang dilakukan umat beragama bersandarkan nilai-nilai agama yang dianut. Sehingga untuk dapat memahami kesolehan sosial ini secara mendalam dan bagaimana kebermanfaatannya dalam kehidupan umat perlu dikaji dahulu secara mendalam nilai-nilai agama yang dianut masing-masing umat.

            Dalam Modul Agama Sebagai Landasan Dalam Aspek Kehidupan (Pusdiklat Tenaga Administrasi, 2019) menjelaskan bahwa agama tidak hanya mengurus hubungan vertikal manusia dan Tuhan, tetapi juga hubungan horisontal antar sesama manusia. Karenanya,  agama bukan hanya berisi panduan untuk umatnya saleh ritual, tapi juga saleh sosial. Oleh karena itu, dalam semua agama, ada aspek moral- etik yang berorientasi pada hubungan baik antar sesama manusia. Dari sinilah kita akan melihat apakah umat beragama mampu mengimplementasikan nilai-nilai luhur agama itu ke dalam perilaku sosial?

            Dalam Islam misalnya, jauh sebelum Nabi Muhammad Saw menerima firman pada umurnya ke-40 di mana menerima perintah ritual-ritual yang sifatnya vertikal seperti salat, puasa, zakat, dan haji, beliau lebih dulu tampil dengan dua fondasi sosial-kemanusiaan, yaitu rahmat dan akhlak. Dia adalah Nabi Rahmat (Nabi ar-Rahmah) bagi semesta alam (rahmatan lil alamin), bukan sekadar bagi umat Islam (lil muslimin), sebagaimana dalam QS Al-Anbiya: 107. Dia juga, sebagaimana sabda-Nya dan firman-Nya (QS Al-Qalam: 4), benar- benar diutus untuk menyempurnakan akhlak. Rahmat berarti cinta dan perdamaian untuk seluruh manusia, dan akhlak berarti etika dalam sosial yang bukan hanya kesantunan, tapi juga didasarkan pada nilai akan penghormatan dan gotong royong antar sesama manusia. Bahkan, jika diamati, semua ritual vertikal ‘pun’ juga berdimensi sosial. Shalat misalnya, untuk menjauhkan kita dari kekejian dan kemungkaran (Al-’Ankabut: 45) serta sebaliknya: neraka Wayl bagi mereka yang shalat untuk riyadan tidak mau memberi pertolongan (Al-Ma’un: 4-7), zakat menjadi sia-sia jika diikuti kata-kata yang melukai (Al-Baqarah: 264), dan seterusnya. Bahkan, dalam hadis ditegaskan bahwa akhlak yang buruk justru bisa merusak amal, seperti cuka merusak madu atau di hadis lain dimisalkan seperti api melalap kayu bakar (HR Ibn Majah). Alhasil, pada puncaknya justru sebagaimana Nabi sabdakan bahwa “agama adalah akhlak yang baik, misalnya: jangan marah.” Atau di hadis lain dikatakan bahwa kuat dan lemahnya iman bergantung pada akhlak. Inilah yang sekaligus menjadi titik salah paham sebagian umat Islam dimana kesalehan menjadi kategori fikih semata atau hanya perkara vertikal tidak juga horisontal atau sosial. Oleh karena itu, syariat harus berbasis dan fokus pada pertimbangan maqashid al-syari’ah (tujuan syariat). Sebab, di sanalah apa yang menjadi nilai sosial-kemanusiaan Islam dalam syariat terkandung. Di mana kemaslahatan manusia menjadi tujuan utama: satu poin berorientasi ritual, yakni hifzh al- din (menjaga agama), dan selebihnya berorientasi sosial, yakni hifzh al- nafs (menjaga kehidupan), hifzh al-’aql (menjaga akal), hifzh al- mal (menjaga harta benda), hifzh al-nasl (menjaga keturunan), serta hifzh al-bi’ah (menjaga lingkungan). Sangat terang menderang isi dari ajaran Islam untuk umatnya berperilaku saleh dalam masyarakat, tinggal bagaimana ujung tombak memoles informasi ini ke dalam system pembinaan umat agar ajaran mulia ini dicontohkan oleh semua umat Islam yang matoritas di negeri ini.

            Dalam Kristen misalnya, tulisan  Emile Durkheim dalam “Elementary Forms of Religious Life” menyebutkan agama adalah sistem keyakinan dan praktik-praktik keagamaan terpadu mengenai hal-hal yang suci, yakni yang terpisah dan tabu-keyakinan dan praktik-praktik keagamaan yang mengumpulkan para penganutnya dalam komunitas moral yang disebut Gereja (Comte, 2007). Artinya, Gereja berkewajiban mendorong umatnya saleh sosial. Pada Juni 2017, Paus Fransiskus memulai tradisi baru yaitu mencanangkan  Hari  Orang  Miskin  Sedunia  yang  jatuh  pada  19 November 2017 atau pada hari Minggu ketiga November setiap tahun. Begitu pula pemimpin tertinggi Katolik sebelumnya juga pernah mencanangkan hal serupa. Pius X (1914) menciptakan Hari Migran dan Pengungsi Sedunia. Paulus VI (1967) memulai Hari Perdamaian Sedunia. Yohanes Paulus II terkenal dengan Hari Kaum Muda Sedunia sejak 1984. Sebelum ini Paus Fransiskus pada 2015 juga pernah mencanangkan Hari Doa Sedunia bagi Pemeliharaan Ciptaan.

            Seluruh narasi di atas mengajarkan kepada kita bahwa agama di Indonesia telah memberikan ruang yang cukup untuk melakukan kebermanfaatan kesolehan sosial agama. Kebermanfatan sosial ini tidak saja terkait dengan sosial keagamaan, melainkan juga sosial budaya dan ekonomi. Indonesia tumbuh dengan akar budaya yang agamis, seperti apapun keyakinan seseorang sebelum agama langit membumi telah tumbuh berakar kuat adalah keyakinan atau agama yang tumbuh dari hasil karya budhaya manusia yang pada hakikatnya juga sangat menjunjung tinggi nilai-nilai kemanusiaan.

            Dalam mencetak generasi generi saleh sosial tidak saja diperlukan pemahaman yang mendalam terhadap nilai-nilai agama, melainkan juga aspek-aspek lain terkait sarana pendorong untuk dapat berbuat sosial yang baik, yaitu factor ekonomi. Modul Agama Sebagai Landasan Dalam Aspek Kehidupan (Pusdiklat Tenaga Administrasi, 2019) juga menjelaskan tentang  faktor ekonomi, dalam kaitannya dengan kesolehan sosial. Islam merupakan salah satu agama yang menekankan pentingnya aspek ekonomi. Perhatian Islam terhadap aspek ekonomi sangat besar. Banyak ayat Al Quran dan hadits yang menekankan pada seorang muslim  untuk  mencapai  kesejahteraan  ekonomi.  Diantaranya  QS Al-Jum’ah ayat 10, QS Al-Baqarah ayat 198, QS. Thaha ayat 117-119. Menurut Umar Farrukh (1962), surat al Baqarah mengandung 25 tentang hukum atau masalah ekonomi. Kesejahteraan ekonomi, dalam perspektif Islam, bisa didapat bukan dengan bersikap fatalistik dan pasif, tapi melalui usaha dan kerja keras. (Umar Farrukh, 1962) Menurut Imam Al-Ghazali (1985), dalam ar Ra’du ayat 11, Allah SWT menegaskan bahwa nasib sebuah kaum tidak akan berubah kecuali melalui usaha mereka sendiri. Dengan kata lain, sikap fatalistik sangat ditentang dalam Islam. Hadits-hadits yang menekankan tentang pentingnya aktifitas ekonomi juga sangat banyak. Diantaranya, “Janganlah mengemis apapun dari manusia` (Abu Dawud). Pesan penting hadits ini adalah kemandirian ekonomi. Islam mengecam keras ketergantungan secara ekonomi. Sebab ketergantungan ekonomi dianggap akan mengkontaminasi keimanan seorang muslim: kefakiran dekat dengan kekafiran (hadits). Oleh karena itu, menurut Yusuf al- Qardhawi, Islam memberikan perhatian serius pada soal kemiskinan. Dalam Islam, kemiskinan merupakan problem sosial yang harus dientaskan. (Yusuf Al-Qardhawi, 1985)

            Di dalam modul yang sana  agama Kristen juga memberikan perhatian serius pada persoalan ekonomi. Bahkan lebih mempunyai Teknik dan cara dalam membangun kebersamaan umat. Apalagi jika merujuk pada perspektif Weberian tentang etika Protestan. Dalam perspektif Weberian, agama dinilai memiliki pengaruh besar dalam pembentukan etos kerja. Bekerja dianggap sebagai bentuk manifestasi keimanan (calling). Melakukan aktifitas ekonomi adalah bagian dari “panggilan langit”, bukan sesuatu yang bertentangan. Bahkan, Weber menyimpulkan bahwa ada korelasi positif antara etika Protestan dengan tumbuhnya spirit kapitalisme. Perkembangan kapitalisme, dalam batas tertentu, dipacu oleh doktrin-doktrin kekristenan. Jadi, agama Kristen bukan hanya tidak kontradiktif dengan spirit ekonomi, tapi bahkan menjadi api spirit tumbuhnya aktifitas ekonomi.

            Agama Hindu dan Budha juga memiliki konsep yang sangat korelatif dengan aspek ekonomi. Kedua agama tersebut memiliki ajaran yang sangat menekankan aktifitas-aktifitas ekonomi para penganutnya. Aspek perekonomian yang memiliki korelasi dengan ajaran Hindu-Buddha disebut dengan istilah Dharmanomic. Ini sebuah   ekonomi yang dilandaskan pada ajaran Dharma atau budi pekerti-moral. Dalam perspektif Hindu, spirit ekonomi atau etos kerja dibedakan menjadi dua, yaitu Asuri Sampat (Nafsu yang Baik) dan Daivi-Sampat (Nafsu yang Buruk). Dikotomi baik-buruk tersebut mencerminkan bahwa mereka yang memiliki dharma baik akan senantiasa dilingkupi kebahagiaan, sementara yang berdharma buruk akan senantiasa dilingkupi nafsu jahat duniawi. Etos kerja dalam agama Hindu juga dipengaruhi cerita Mahabharata dan Ramayana.

            Penjelasan dari kitab-kitab agama di atas memperjelas kepada kita bahwa untuk dapat mengoptimalkan kebermanfaatan kesolehan sosial diperlukan pemahaman tentang bagaimana umat mengelola ekonominya dengan baik, sehingga mampu melaksanakan kegiatan-kegiatan sosial yang penuh didasari dengan iman kepada Tuhan. Ekonomi merupakan pondasi awal seseorang untuk dapat bersifat soleh dalam sosialnya.

Penutup

            Dari uraian di atas, penulis dapat menarik beberapa statement yang dianggap penting dalam memahami kesolehan sosial dan kebermanfaatnya bagi umat. Kesolehan sosial tidak lain adalah kebaikan-kebaikan yang dilakukan seseorang penganut agama dalam hidup bermasyarakat. Agama masing-masing umat telah menanamkan bagaimana umat melakukan interaksi sosial yang bermakna dalam lingkungan tempat tinggalnya. Seseorang tidak dikatakan soleh dalam bersosial manakala di sekitar tempat tinggalnya terhadap warganya yang membutuhkan uluran tangannya, sementara dia mampu. Walaupun dia terkenal alim dalam melaksanakan ibadah agama yang dianutnya. Kesolehan sosial akan tumbuh semakin indah manakala orang soleh sosial itu memang soleh dalam menjalankan agamanya. Akan tidak benar jika seseoang dikatakan soleh dalam bersosial tetapi tidak ‘jelas’ dalam menerapan nilai-nilai agama yang dianutnya.

            Sisi kebermanfaaatan kesolehan sosial ini, dapat dilihat dalam bentuk implementasi nyata di dalam lingkungan masyarakat. Orang soleh dalam sosial akan menjadi motor penggerak dalam mengatasi permasalahan sosial di lingkungannya. Lingkungan tempat tinggalnya akan makmur,  sejahtera, dan terjadi interaksi yang dinamis dan saling mengasihi, saling mengayomi dan menjadi masyarakat keluarga besar yaitu keluarga bangsa Indonesia.

Bahan Bacaan

Darajat, Zakiah. 2005. Ilmu Jiwa Agama, Cet 17, Jakarta: Bulan Bintang.

Helmiyati, 2021, Artikel Kesolehan Individual dan Kesolehan Sosial, UIN Suska Riau

Jamil, Abdul  Wahab, 2015., Indeks Kesalehan Sosial Masyarakat Indonesia, Jakarta: Publitbang Kehidupan Keagamaan.

Pudiklat Tenaga Administrasi, 2019., Modul Agama Sebagai Landasan Dalam Aspek Kehidupan, Jakarta: Pusdiklat Tenaga Administrasi

                                    *Penulis adalah widayaiswara Keagamaan BDK Banjarmasin