MEMOTIVASI WIDYAISWARA MELALUI DIKLAT ATAU PENGEMBANGAN?

MEMOTIVASI WIDYAISWARA MELALUI DIKLAT ATAU PENGEMBANGAN?

MEMOTIVASI WIDYAISWARA MELALUI DIKLAT ATAU PENGEMBANGAN?

Oleh: Surya Subur*

Balai Diklat Keagamaan Banjarmasin

 

  1. PENDAHULUAN
  1. Latar Belakang

Lembaga Pendidikan dan Pelatihan (diklat) yang merupakan salah satu unsur lembaga dalam pendidikan harus mampu bersaing dan dapat menghadapi perubahan yang timbul akibat persaingan di lingkungan organisasi diklat maupun di luar organisasi diklat. Oleh karena itu, organisasi balai diklat dituntut selalu berupaya untuk meningkatkan kualitas sumber daya yang dimilikinya agar dapat dipergunakan secara efektif dan efisien.

Pendidikan dan Pelatihan di Indonesia  pada umumnya dikenal dengan istilah ‘diklat’ atau ‘pelatihan’. Istilah pendidikan dan pelatihan (diklat) berasal dari bahasa Inggris ‘training and development’ bukan  ‘education and training’ (Hadiati WK, cs. 2001:60).

Pelatihan dan pengembangan merupakan suatu strategi yang dilakukan oleh pimpinan organisasi untuk mempertahankan, memelihara pegawai dalam organisasi, dan sekaligus meningkatkan keahlian para pegawai untuk kemudian dapat meningkatkan produktivitas organisasi.

Perbedaan pelatihan dengan pengembangan menurut Hanry Simamora, seperti yang dikutip oleh Sulistiyani dan Teguh Ambar  dan Rosidah (2003:87), pelatihan (training) diarahkan untuk membantu karyawan menunaikan tugas atau pekerjaan mereka saat ini, sedangkan pengembangan (development) adalah suatu investasi yang berorientasi ke masa depan. Pelatihan mempunyai fokus yang agak sempit dan harus memberikan keahlian-keahlian yang bakal memberikan manfaat bagi organisasi secara cepat.

Pengembangan didasarkan pada kenyataan bahwa seseorang pegawai akan membutuhkan serangkaian pengetahuan, keahlian, dan kemampuan yang berkembang supaya dapat bekerja dengan baik dan sukses yang ditemui selama kariernya. Dinyatakan dengan cara lain, pelatihan adalah suatu bentuk investasi jangka pendek, sedangkan pengembangan merupakan investasi sumberdaya manusia untuk jangka panjang.

Perbedaan istilah pelatihan dan pengembangan di atas pada intinya  menunjukkan kalau pelatihan dimaksudkan untuk mambantu meningkatkan kemampuan para pegawai dalam melaksanakan tugas mereka sekarang, sedangkan pengembangan lebih berorientasi pada peningkatan produktivitas kerja para pegawai di masa depan. Namun demikian, berbedaan tersebut tidak perlu ditonjolkan karena manfaat pelatihan yang dilakukan sekarang dapat berlanjut sepanjang karier seorang pegawai. Dengan demikian, suatu pelatihan dapat bersifat pengembangan bagi pegawai yang bersangkutan apabila dalam pelatihan tersebut, pegawai yang bersangkutan diperpersiapkan untuk memikul tanggung jawab yang lebih besar dikemudian hari.

Penekanan pelatihan adalah untuk meningkatkan kemampuan melaksanakan tugas sekarang, sedangkan pengembangan menekankan peningkatan kemampuan melaksanakan tugas baru di masa depan. Akan tetapi karena keterkaitan antara keduanya sangat  erat, perbedaan aksentuasi tersebut bukanlah hal yang perlu ditonjolkan meskipun perlu perhatian serius.

Keberhasilan suatu lembaga diklat sangatlah erat kaitannya dengan peranan tutor (widyaiswara) sebagai ujung tombak karya diklat. Oleh karena itu peningkatan profesional widyaiswara  sangat diperlukan. Hal ini menunjukkan bahwa widyaiswara sebagai pelaku pendidikan mendapat perhatian yang selayaknya.

Untuk meningkatkan kemampuan profesionalisme widyaiswara agar mampu menghasilkan kinerja yang lebih baik, maka ada beberapa hal yang perlu diperhatikan, antara lain meningkatkan kompetensi, memberikan motivasi  dan memberikan sarana prasarana menjalankan tugas dimana widyaiswara tersebut beraktivitas dan berkembang.

Kompetensi, adalah kemampuan intrinsik yang dimiliki oleh seorang widyaiswara. Meliputi kompetensi intelektual, manajerial, dan spritual. Sehingga memunculkan seorang widyaiswara yang menguasai bidang keahliannya didukung dengan kekuatan spritual dan manajerial yang memadai.

Motivasi merupakan suatu komponen yang sangat penting dalam meningkatkan kemampuan seorang widyaiswara, karena dengan motivasi yang sesuai dan terarah maka widyaiswara dapat memberikan pelayanan yang baik sesuai dengan keinginan lembaga diklat, selain itu bagaimana cara memberi motivasi agar widyaiswara tersebut dapat langsung menerapkan dalam pekerjaannya tidak kalah penting. Apabila dalam pemberian motivasi kepada widyaiswara kurang efektif dan tidak adil maka dapat menimbulkan dampak yang kurang baik terhadap kinerja widyaiswara yang juga akan berdampak terhadap peserta diklat atau output kediklatan.

Seorang widyaiswara dalam melaksanakan tugasnya membutuhkan lingkungan kerja yang nyaman dan harmonis, dimana widyaiswara sebagai makhluk sosial membutuhkan sesamanya untuk bergaul, bertukar pikiran, dan menyambung hubungan persaudaraan yang lebih dari sekedar profesi yang dapat menyatukan pendapat dan saling memahami antara individu yang bersifat dan berperilaku yang berbeda. Dengan adanya suatu budaya organisasi maka widyaiswara sebagai makhluk sosial dapat merasa nyaman dan tidak merasakan suatu beban pada saat melaksanakan tugasnya, sehingga dengan adanya budaya organisasi yang baik maka widyaiswara dan karyawan akan merasakan adanya kerjasama yang baik  dan pada akhirnya dapat menciptakan disiplin kerja yang baik pula.

Di samping itu, daya dukung sarana dan prasarana tidak kalah penting dalam mendukung pelaksanaan diklat yang berujung pada kinerja seorang widyaiswara. Sarana dan prasarana dimaksud terkait dengan proses pelaksanaan diklat, seperti gedung, ruang belajar, tata ruang, sound system, LCD, dan sebagainya.

Bertolak dari perbedaan diklat dan pengembangan serta  pentingnya kompetensi, motivasi,  dan sarana prasarana dalam melihat pengembangan widyaiswara. Maka perlu adanya asumsi berupa tulisan berjudul  memotivasi widyaiswara apakah melalui diklat atau pengembangan? Tentunya setting asumsi penulisan Balai Diklat Keagamaan Banjarmasin.

 

  1. Permasalahan

Permasalahan dalam penulisan ini tentu akan berawal dari upaya meningkatkan kinerja atau mengoptimalkan peran widyaiswara sebagai ujung tombak pendidikan dan pelatihan ASN khususnya di lingkungan Kementerian Agama. Sementara ini asumsi penulis belum dirasakan oleh sebagian widyaiswara. Kalau toh ada yang sudah terpenuhi asupan keilmauan berupa seringnya mengikuti diklat belum tentu merasakan optimalisasi pengembangan diri ini untuk berkiprah kearah yang lebih optimal. Padahal kita kita widyaiswara sebagai jabatan fungsional membutuhkan tidak saja update ilmu pengetahuan dan keterampilan mengajar kekinian, melainkan juga bagaimana cara mengembangkan keilmuannya sehingga dapat berhasil dan berdaya guna secara maksimal. Kalau kita bertanya kepada widyaiswara baik senior maupun yunior, mereka lebih cenderung diberdayakan daripada di berikan asupan dalam mengikuti diklat. Inilah permasalahan klasik dunia widyaiswara saat ini. Sehingga kita perlu memperjelas apakah mereka termotivasi dengan mengikuti diklat atau lebih pada memberikan ilmunya untuk melaksanakan tugas sebagai pengajar?

 

  1. Tujuan penulisan

Tujuan penulisan ini diarahkan pada memberikan wawasan kepada pemimpin atau leading sektor para kasi baik kasi teknik keagamaan maupun kasi administrasi di lingkungan Balai Diklat Keagamaanagar nantinya mampu memeberikan kebijakan yang berorientasi pada apa yang diinginkan oleh widyaiswara apakah diklat atau pengembangan? Juga untuk instansi diatasnya Pusdiklat baik Pusdiklat Tenaga Teknik Keagamaan atau Pusdiklat Tenaga Administrasi. Serta pengambil kebijakan tentang diklat yakni Badan Litbang dan Diklat Kementerian Agama.

 

  1. KERANGKA TEORITIK

Terdapat beberapa rumusan tujuan pelatihan dan pengembangan pegawai. Berikut dikemukakan beberapa rumusan tujuan pelatihan dan pengembangan menurut para pakar seperti yang akan dikemukakan di bawah ini.

  1. Pendapat Ivancevich, sebagaimana yang dikutip oleh Hadiyati WK, cs. (2001:62) dalam bukunya yang berjudul  Manajemen SDM, Keuangan dan Materil, adalah sebagai berikut:
    1. Pelatihan bertujuan untuk mengurangi gap atau perbedaan kinerja yang ada antara hasil yang diinginkan dengan apa yang  dicapai oleh pegawai sebagai akibat ketidakmampuan pegawai yang bersangkutan dalam mencapai standar yang ditetapkan. Pelatihan untuk meningkatkan kinerja ini penting bagi organisasi yang sedang mengalami penurunan produktivitas.
    2. Terkait dengan perkembangan teknologi, pelatihan dan pengembangan membuat pegawai lebih produktif dan lebih adaptif.
    3. Pelatihan dan pengembangan bertujuan untuk meningkatkan komitmen dan persepsi pegawai  terhadap organisasi.
  2. Pendapat Martoya, sebagaimana yang dikutip oleh  Sulistiyani dan Teguh Ambar dan Rosidah  (2003: 176) menerangkan, tujuan pelatihan dan pengembangan pegawai seperti dikemukakan berikut ini.
    1. memperbaiki kinerja

      Pelatihan dan pengembangan dilaksanakan untuk memutakhirkan keahlian para karyawan sejalan dengan kemajuan teknologi.

  1. mengurangi waktu belajar bagi karyawan baru supaya, menjadi kompeten dalam pegawai;
  2. membantu memecahkan persoalan oprasional;
  3. mempersiapkan karyawan untuk promosi;
  4. memenuhi kebutuhan-kebutuhan pribadi.

Dari pendapat para ahli tadi dapat diambil suatu simpulan yang paling mendasar (esensial) bahwa tujuan pelatihan dan pengembangan pegawai adalah untuk meningkatkan kinerja pegawai dalam rangka efisiensi dan efektivitas pencapaian tujuan organisasi.

 

 

 

  • Manfaat Pelatihan dan Pengembangan Pegawai

Pelatihan dan pengembangan pegawai yang dilaksanakan dengan baik menurut  P. Siagian (2005) paling sedikit memiliki 7 (tujuh) manfaat bagi organisasi dan 10 (sepuluh) manfaat bagi pegawai.

  1. Manfaat bagi lembaga diklat
  1. peningkatan produktivitas kerja;                    
  2. terjadinya hubungan serasi antara bawahan dan atasan;
  3. proses pengambilan keputusan lebih cepat dan tepat;
  4. meningkatkan semangat kerja seluruh tenaga kerja dalam organisasi dengan komitmen organisasional yang lebih tinggi;
  5. mendorong sikap keterbukaan manajemen;
    1. memperlancar jalannya komunikasi yang efektif;
    2. menyelesaikan konflik secara fungsional.
  1. Manfaat bagi widyaiswara (ASN)
  1. membantu membuat keputusan dengan lebih baik;
  2. meningkatkan kemampuan dalam menyelesaikan pelbagai masalah yang dihadapi;
  3. terjadinya internalisasi dan operasionalisasi faktor-faktor motivasional;
  4. menimbulkan dorongan untuk terus meningkatkan kemampuan;
  5. meningkatkan kemampuan untuk mengurangi stress, frustasi, dan konflik, sehingga akan memperbesar rasa percaya diri;
  6. memanfaatkan informasi tentang berbagai program yang dapat meningkatkan kemampuan teknikal dan intelektual;
  7. meningkatkan kepuasan kerja;
  8. meningkatkan pengakuan atas kemampuan seseorang;
  9. meningkatkan tekat pekerja untuk lebih mandiri;
  10. mengurangi ketakutan menghadapi tugas-tugas baru di masa depan.

Manfaat lain program pelatihan dan pengembangan pegawai bagi suatu lembaga diklat adalah:

  1. meningkatkan kualitas dan produktivitas;
  2. menciptakan sikap, loyalitas, dan kerja  sama yang lebih menguntungkan;
  3. memenuhi kebutuhan perencanaan SDM.
  • Langkah-langkah Pelaksanaan Pelatihan dan Pengembangan Pegawai

Pada uraian terdahulu dijelaskan beberapa manfaat program pelatihan dan pengembangan baik bagi organisasi maupun bagi widyaiswara dalam organisasi itu sendiri. Agar berbagai manfaat pelatihan dan pengembangan dapat dipetik semaksimal mungkin, perlu ditempuh beberapa langkah di bawah ini (Siagian, 2005 : 185).

  1. Penentuan Kebutuhan

Merupakan kenyataan bahwa anggaran yang harus disediakan untuk membiayai kegiatan pelatihan dan pengembangan merupakan beban bagi organisasi. Karena itu, agar penyediaan anggaran tersebut sungguh-sungguh dapat dibenarkan, perlu adanya jaminan terlebih dahulu bahwa kegiatan pelatihan dan pengembangan tersebut sudah nyata-nyata diperlukan. Artinya, pelatihan dan pengembangan tertentu hanya diselenggarakan apabila kebutuhan untuk itu memang ada. Penentuan kebutuhan itu mutlak perlu didasarkan pada analisis yang tepat. Analisis kebutuhan itu harus mampu mendiagnosis paling sedikit dua hal, yaitu masalah-masalah yang dihadapi sekarang dan berbagai tantangan baru yang diperkirakan akan timbul di masa depan.

Dalam mengidentifikasi kebutuhan akan pelatihan dan pengembangan, terdapat tiga pihak yang turut terlibat. Pihak pertama ialah satuan organisasi yang mengelola sumberdaya manusia. Peranan satuan kerja ini adalah  mengidentifikasikan kebutuhan organisasi sebagai keseluruhan, baik untuk kepentingan sekarang maupun dalam rangka mempersiapkan organisasi menghadapi tantangan masa depan. Pihak kedua ialah para manajer berbagai satuan kerja. Para manajer itulah yang sehari-hari memimpin para karyawan dan karena mereka pulalah yang paling bertanggung jawab atas keberhasilan atau kegagalan satuan-satuan kerja yang dipimpinnya, merekalah yang dianggap paling mengetahui kebutuhan pelatihan dan pengembangan apa yang diperlukan. Pihak ketiga adalah para pegawai yang bersangkutan sendiri. Banyak organisasi yang memberikan kesempatan kepada para pegawainya untuk mencalonkan diri sendiri mengikuti program pelatihan dan pengembangan tertentu. Titik tolak pemberian kesempatan ini ialah bahwa para pegawai yang sudah dewasa secara intelektual mengetahui kelemahan-kelemahan yang masih terdapat dalam diri masing-masing.

Informasi, kebutuhan, dan keinginan ketiga pihak itulah yang kemudian dibahas bersama bagian pelatihan dan pengembangan pegawai. Akan tetapi perlu ditekankan bahwa bagian pelatihan dan pengembangan pegawai tidak perlu membatasi analisis kebutuhan pelatihan dan pengembangan hanya berdasarkan informasi yang diperoleh dari ketiga sumber tersebut. Sumber-sumber informasi yang lain pun perlu dimanfaatkan. Sumber-sumber tersebut antara lain ialah:

1) perencanaan karier pegawai yang telah disusun sebelumnya;

  1. daftar penilaian pelaksanaan pekerjaan;
  2. catatan tentang produksi;
  3. berbagai laporan tentang keluhan, keselamatan kerja dan statistik kemangkiran;
  4. data mutasi pegawai; dan
  5. hasil ”exit interview”.

Semua komponen di atas dapat memberi petunjuk tentang adanya berbagai ragam permasalahan yang diperkirakan dapat dipecahkan melalui penyelenggaraan pelatihan dan pengembangan.

  1. Penentuan Sasaran

Berdasarkan analisis akan pelatihan dan pengembangan, berbagai sasaran ditetapkan. Sasaran yang ingin dicapai itu dapat bersifat teknikal dan dapat pula menyangkut keperilakuan, atau mungkin juga kedua-duanya. Berbagai sasaran tersebut harus dinyatakan sejelas dan sekongkret mungkin, baik bagi para pelatih maupun bagi para peserta.

Bagian penyelenggara pelatihan dan pengembangan sangat berperan dalam upaya untuk  mengetahui sasaran pelatihan pegawai, yaitu sebagai:

  1. sebagai tolok ukur untuk menentukan berhasil tidaknya program pelatihan dan pengembangan;
  2. sebagai bahan dalam usaha menentukan langkah selanjutnya seperti isi program dan metode pelatihan yang akan digunakan;

Kejelasan sasaran juga akan sangat berguna dalam hal program pelatihan dan pengembangan ternyata dianggap kurang berhasil serutama sebagai umpan balik bagi bagian yang mengelola sumberdaya manusia, baik mengenai programnya maupun mengenai pesertanya. Artinya, agar apabila program pelatihan dan pengembangan sejenis akan diselenggarakan di masa depan, pihak penyelenggara tidak mengulangi kesalahan yang sama.

  1. Penetapan Program

Telah disinggung di muka bahwa bentuk dan sifat suatu program pelatihan dan pengembangan ditentukan oleh paling sedikit dua faktor, yaitu hasil analisis penentuan kebutuhan dan sasaran yang hendak dicapai, baik dalam arti teknikal maupun dalam bentuk keperilakuan yang hendak dicapai melalui suatu teknik belajar yang dianggap paling tepat.

Dalam program pelatihan dan pengembangan harus jelas di ketahui apa yang ingin dicapai. Salah satu sasaran yang ingin dicapai adalah mengajarkan keterampilan tertentu yang pada umumnya berupa keterampilan baru yang belum dimiliki oleh para pekerja padahal diperlukan dalam pelaksanaan tugas dengan baik. Mungkin pula pelaksanaan program pelatihan dan pengembangan dimaksudkan untuk mengajarkan pengetahuan baru. Bahkan sangat mungkin yang diperlukan adalah perubahan sikap dan perilaku dalam pelaksanaan tugas.

Dalam hubungan ini penting untuk diperhatikan bahwa melalui penyelenggaraan program pelatihan dan pengembangan dua kepentingan harus sama-sama terpenuhi. Kepentingan pertama ialah kepentingan organisasi yang tercermin pada peningkatan kemampuan organisasi mencapai tujuannya. Apabila tidak, berarti ada yang kurang tepat dirumuskan. Jika hal ini terjadi berarti pemborosan telah terjadi. Kepentingan kedua adalah kepentingan para pegawai peserta pelatihan dan pengembangan yang apabila tidak terpenuhi, akan berakibat pada kurangnya motivasi, bukan hanya mengikuti pelatihan dan pengembangan, akan tetapi juga melaksanakan tugas yang dipercayakan kepadanya.

  1. Pelaksanaan Program

Perlu ditekankan bahwa sesungguhnya penyelenggaraan program pelatihan dan pengembangan sangat situasional sifatnya. Artinya, dengan penekanan pada perhitungan kepentingan organisasi dan kebutuhan para peserta, penerapan prinsip-prinsip belajar yang telah dibahas di muka dapat berbeda dalam aksentuasi dan intensitasnya yang pada gilirannya tercermin pada penggunaan teknik-teknik tertentu dalam proses belajar mengajar. Di samping itu, suatu teknik mengajar dapat berupa pelatihan bagi sekelompok peserta, tetapi berupa pengembangan bagi kelompok peserta yang lain pada hal sama-sama mengikuti program yang sama.

Misalnya program penyeliaan, bagi para peserta yang sudah menduduki jabatan penyelia, program tersebut berupa pelatihan dengan sasaran agar mereka lebih mampu melaksanakan tugas-tugas penyeliaan yang dilakukannya. Sebaliknya, bagi para peserta yang diproyeksikan akan dipromosikan menjadi penyelia di masa depan, program yang sama berupa pengembangan karena tugas-tugas penyeliaan merupakan tugas baru bagi mereka.

Oleh karena itu, tepat tidaknya suatu teknik mengajar digunakan sangat tergantung pada berbagai pertimbangan yang ingin di tonjolkan, seperti kehematan dalam pembiayaan, materi program, tersedianya fasilitas tertentu, preferensi dan kemampuan peserta, preferensi dan kemampuan pelatih dan prinsip-prinsip belajar yang hendak diterapkan.

 

  1. TEMUAN DAN PEMBAHASAN

Pada praktiknya di instansi lembaga diklat pelatihan dan pengembangan bagi widyaiswara tidak berjalan sesuai kebutuhan, bukan sedekar harapan. Pada BDK Banjarmasin misalnya, widyaiswara berjalan sesuai dengan tusinya. Manakala ada dpanggilan diklat baru akan melaksanakan diklat jika tidak tentu akan memberikan pengajaran pada suatu diklat atau mengerjakan yang lain seputar tusi widyaiswara. Arah pengembangan widyaiswara belum terlihat jelas.

Dalam sebuah lembaga pendidikan dan pelatihan serta pendidikan dan pengembangan widyaiswara tidak lagi bicara kebutuhan melainkan sudah selayaknya harus dijalankan bahkan harus dikembangkan oleh sebuah lembaga diklat. Kompetensi dan kapasitas serta kapabilitas widyaiswara memerlukan pembaharuan pemikiran tidak saja seputar pengetahuan, keterampilan, dan sikap melainkan juga pengembangan hasil pendidikan dan pelatihan yang didapat. Pengembangan berorientasi jauh ke depan. Ia tidak hanya seputar mengembangkan ilmu pengetahuan yang didapat melainkan mengembangkan potensi dirinya ditengah-tengah masyarakat. Hal ini hendaknya ada diagendakan bagi kepentingan pengembangan widyaiswara.

Masyarakat sebagai obyek pembinaan tidak saja berstatus ASN melainkan masyarakat secara umum, tidak saja kalangan birokratis melainkan juga kalangan pengusaha, petani, nelayan dan unsur masyarakat lainnya mempunyai hak sama untuk mendapatkan pencerahan dari seorang widyaiswara. Masyarakat di luar konteks kewidyaiswaraan sebetulnya lebih banyak memberikan peran pengembangan kematangan sikap berpikir, berkarya, berinovasi dan berkolaborasi dengan sikap mental dirinya untuk menjadi hebat.

Widyaiswara yang tidak mampu keluar dari zona kewidyaiswaraannya tentu akan terkukung dengan kontektual materi penyampaian atau keilmuannya semata. Mereka akan terkukung dengan egosektoral. Sehingga akan jatuh kepada pengakuan jati diri sebagai seorang ahli dibidangnya. Padahal sikap seperti itu, jauh dari kesempurnaan. Jika ini terjadi peserta diklat yang jauh punya jam terbang pengembangan jati dirinya akan menilai siapa kita.

Karenanya menjadi penting menurut penulis lembaga diklat mengagendakan pendidikan dan pengembangan widyaiswara kedepannya. Seperti potensi dikembangkan menjadi duta bahasa, duta komunikasi dengan jejaring kerja, asisten ahli dalam lingkup perkantoran. Menjadi pendamping dalam penyusunan LAKIP di lembaga diklat, pendamping PPK dalam kegiatan kontrak, dan sebagainya dan sebagainya. Perberdayaan ini merupakan langkah pengembangan potensi widyaiswara. Terasa lucu pemegang tata persuratan dan kearsipan, tetapi tidak pernah dilibatkan dalam melakukan pengarsipan di lembaganya, manakala dia mengajar tentu hanya bermain diteori. Begitu juga tata kelola keuangan namun belum pernah dilibatkan dalam memahami bagaimana cara pembelian, pelaporan, menyusun draft kontrak, berkontrak, dan sebagainya. Inilah pentingnya pemimpin yang bijak untuk dapat memprogramkan pendidikan dan pengembangan widyaiswara. Bagaimana sikap nasionalisme tertanam manakala tidak tidak pernah ke luar dari lingkungan tempat tinggal kita yang hanya memberikan asupan sosial yang tidak heterogen? Demikian halnya mengajarkan esensi keilmuan kepada kepala madrasah, tetapi jadi guru saja belum pernah, maka yang diberikan hanyalah asumsi keilmuan, padahal di dalam keilmuan itu ada esensi atau jiwa yang harus dikembangkan. Ini hanya bisa dilakukan oleh seorang yang berpengalaman di dalamnya. Maha benar pepatah lama pengalaman adalah guru yang paling berharga.

  1. PENUTUP

Dari uraian di atas kita bisa fahami bahwa yang dibutuhkan untuk meng-upgrade  potensi widyaiswara tidak saja melalui pendidikan dan pelatihan melainkan justru paling utama adalah pendidikan dan pengembangan. Sehingga widyaiswara tidak saja mumpuni akan keilmuannya melainkan juga kaya akan pengembangan pengetahuannya. Pengembangan ini didapatkan dari strategi pimpinan lembaga diklat untuk mengembangkan widyaiswara sesuai dengan kapasitas, kapabilitas dan kompetensi yang dimilikinya.

 

DAFTAR PUSTAKA

Hadiati, WK, Sri dan Sukadarto, H. 2001, Manajemen SDM, Keuangan dan Materiil, Bahan Ajar Diklatpim IV,Jakarta, LAN.

Sulistiyani, dan Teguh Ambar dan Rosidah, 2003., Manajemen Sumber Daya Manusia Konsep, Teori dan Pengembangan dalam Konteks Organisasi Publik, Yogjakarta: Gajah Mada University Press.

Siagian, S.P. 2005, Manajemen Stratejik, Jakarta: Bumi Aksara.