Mengapa Kita Kecewa?

Mengapa Kita Kecewa?

Ekspektasi merupakan akar dari segala sakit hati

(William Shakespeare)

 

Gerhard Gschwandtner (Founder and CEO of Selling Power) pernah mengadakan riset mengenai kekecewaan. Anehnya ia menemukan sesuatu yang paradoks. Ada ribuan judul buku diperpustakaan tentang kesuksesan, sedangkan buku tentang kesedihan dan kekecewaan sedikit. Ini sangat mengherankan Gerhard, karena observasinya menunjukkan bahwa kekecewaan merupakan pengalaman yang lebih akrab dengan manusia ketimbang kegembiraan. Dukacita lebih sering terjadi daripada sukacita. Sedih, kecewa, dan gagal kerap terjadi, sementara sukses dan bahagia yang didamba sepenuh hati sering kali bagaikan “pungguk merindukan bulan”.

Begitulah realitanya. Ada orang kecewa dengan atasan, teman, atau keluarganya. Ada  yang kecewa pada keadaan, lingkungan dan masyarakat. Ada juga orang yang kecewa dengan dirinya sendiri. Bahkan, ada orang yang “kecewa” dengan Tuhan.

Perasaan kecewa sangat wajar dialami oleh setiap manusia. Kekecewaan tidak hanya menimpa orang dewasa saja, namun juga remaja hingga anak-anak. Dalam kehidupan yang serba instan saat ini, pasti Anda pernah dikecewakan oleh orang lain. Banyak faktor yang membuat rasa kecewa itu muncul, dan mungkin saja menyakiti perasaan Anda. Kecewa adalah ungkapan rasa yang timbul apabila harapan dan hasil yang diperoleh tidak sesuai.

Ketika ditimpa  kekecewaan, mungkin Anda merasa pesimis, frustrasi atau menjadi emosional karena keinginan tidak berjalan mulus seperti ekspektasi. Mimik wajah seseorang yang kecewa cenderung berubah termasuk sikap dan kata-katanya. Wajah manusia berada dalam peringkat teratas yang langsung menarik perhatian mata. Jika sebuah wajah tampak menampilkan komposisi tertentu, hal pertama yang terlihat adalah ekspresinya. Tubuh merefleksikan tindakan, sedangkan wajah adalah “jendela” batin seseorang. Sebenarnya, tidak ada yang melarang Anda menunjukkan rasa kecewa. Namun akan lebih bijak jika rasa kecewa akibat kegagalan, kehilangan, atau kesedihan yang mewakili perasaan Anda, tak boleh bersemayam lama-lama di dalam hati.

Bolehkah kita kecewa?  Bagaimana solusinya dalam perspektif Islam? Menurut Dr. ‘Aidh al-Qarni dalam buku La Tahzan,  “Semakin banyak Anda mengingat Allah, pikiran Anda akan semakin terbuka, hati Anda semakin tenteram, jiwa Anda semakin bahagia, dan nurani Anda semakin damai sentosa. Itu, karena mengingat Allah terkandung nilai-nilai ketawakalan kepada-Nya, keyakinan penuh kepada-Nya, ketergantungan diri hanya kepada-Nya, kepasrahan kepada-Nya, berbaik sangka kepada-Nya dan pengharapan kebahagiaan hanya kepada-Nya”.

Agar terhindar dari rasa kecewa perbanyaklah mengingat Allah., salah satunya dengan doa. Doa adalah senjata orang mukmin. Maka sering-seringlah berdoa. Doa dapat memberikan kekuatan pada orang tak berdaya. Doa dapat memberikan ketenangan pada hati yang gundahgulana. Doa dapat membuat orang tidak percaya menjadi kuat keyakinannya. Dan doa dapat memberikan keberanian pada orang yang ketakutan.

Ini adalah doa yang dicontohkan Rasulullah saw., agar kuat menghadapi segala hal, termasuk mereka yang dirundung nestapa dan kekecewaan . “ Allohumma inni a’udzu bika minal hammi wal hazan, wa a’udzu bika minal ‘ajzi wal kasal, wa a’udzu bika minal jubni wal bukhul, wa a’udzu bika min gholabatid daini wa qohrir rijal” ( Ya Allah, aku berlindung kepada-Mu dari dukacita dan kepiluan hati. Aku berlindung kepada-Mu dari ketidakmampuan dan kelalaian. Aku berlindung kepada-Mu dari perbuatan pengecut dan sifat kikir. Dan aku berlindung kepada-Mu dari lilitan hutang dan penindasan manusia).

Salman al-Farisi ra., meriwayatkan bahwa Rasulullah saw., bersabda, “ Sesungguhnya Allah mempunyai sifat malu dan memberi kepada orang yang tidak meminta dengan pemberian yang banyak. Apabila seseorang mengangkat tangannya dihadapan Allah, memohon sesuatu, maka Allah amat malu untuk memulangkan kedua tangan tersebut dengan tangan kosong”. (HR. At-Tirmizi).

“Ud’uunii astajib lakum” ( Mintalah pada-Ku, pasti Aku kabulkan) QS. Al-Ghofir:60.

 

Yasir Arafat HZ