MENGENAL KONSEP PERCEIVED TRAINING BENEFIT
Oleh:
Jadwa Amalia, S.Pd.
Widyaiswara Ahli Muda
Balai Diklat Keagamaan Banjarmasin
Saat ini instansi pemerintah semakin dituntut untuk meningkatkan kualitas pelayanannya kepada masyarakat. Peningkatan kualitas ini diupayakan antara lain dengan meningkatkan kualitas sumber daya manusia penyelenggara pelayanan. Salah satu langkah yang lazim dilakukan untuk meningkatkan kualitas sumber daya manusia adalah melalui kegiatan pelatihan. Kegiatan pelatihan yang diberikan diharapkan dapat mengisi gap atau kesenjangan antara kompetensi yang sekarang dimiliki seorang pegawai dengan kompetensi yang diharapkan dalan jabatannya sehingga dapat meningkatkan efisiensi dan efektivitas dalam bekerja.
Atasan atau pimpinan perlu untuk mengkomunikasikan tujuan dan manfaat dari pelatihan yang diberikan kepada pegawai yang akan menjadi peserta. Hal ini penting untuk disampaikan agar menjadi motivasi bagi pegawai yang akan mengikuti pelatihan. Namun demikian, keuntungan atau manfaat yang mungkin didapat yang disampaikan kepada pegawai juga harus realistis karena jika hal ini tidak tercapai dapat mengurangi motivasi pegawai tersebut mengikuti pelatihan-pelatihan selanjutnya (Noe et al., 2013).
Menurut Hutomo (2010) pelatihan adalah proses sistematis untuk membantu meningkatkan keterampilan dan sikap pegawai yang hasilnya diharapkan dapat mengurangi kesenjangan antara persyaratan pekerjaan dan karakteristik pegawai. Hal ini dapat dilakukan antara lain dengan mengajarkan berbagai keterampilan yang dibutuhkan kepada pegawai, baik pegawai baru maupun yang telah lama bekerja.
Noe (2010) menyatakan bahwa efektivitas pelatihan mengacu pada manfaat yang diperoleh organisasi dan juga pegawai yang menjadi peserta pelatihan. Ini menunjukkan bahwa keberhasilan suatu pelatihan tidak cukup dilihat dari kesuksesan pelaksanaan atau penyelenggaraannya, namun juga dari seberapa banyak manfaat yang dirasakan organisasi dan peserta. Perceived training benefit (dalam beberapa literatur juga disebut sebagai perceived training utility; perceived training effectiveness) merupakan keyakinan pegawai tentang seberapa besar manfaat yang dirasakan dari pelatihan yang telah diikuti (Riaz et al., 2014).
Noe et al. (2013) menyatakan bahwa manfaat yang bisa didapat oleh pegawai dari pelatihan antara lain bagi pribadi, bagi pekerjaan, dan bagi karir pegawai yang bersangkutan. Manfaat pelatihan bagi pribadi pegawai yaitu sejauh mana pegawai meyakini bahwa keikutsertaan dalam pelatihan akan membantu pengembangan diri mereka. Pada dimensi ini, pelatihan dikatakan efektif jika setelah mengikuti suatu pelatihan peserta merasakan ada peningkatan dan perkembangan individu., misalnya dalam hal kemampuan sosialisasi, komunikasi, maupun hubungan dengan rekan sejawat dan pimpinan di tempat kerja.
Manfaat pelatihan bagi pekerjaan yaitu sejauh mana pelatihan memberikan keterampilan dan kemampuan yang diperlukan untuk melaksanakan pekerjaan mereka dan juga untuk membangun hubungan baik dengan rekan kerja. Pada dimensi ini pelatihan dianggap efektif jika peserta mendapatkan manfaat terkait dengan keterampilan teknis pekerjaannya. Manfaat pelatihan bagi karir yaitu sejauh mana pelatihan yang pernah mereka ikuti dapat membantu mereka dalam pengembangan karir sebagai pegawai serta meningkatkan peluang mendapatkan kesempatan promosi.
Jika mengacu pada uraian di atas, maka penerapan konsep perceived training benefits dalam mengevaluasi kegiatan pelatihan idealnya dilakukan beberapa waktu setelah kegiatan pelatihan selesai. Hal ini untuk memberi kesempatan pada peserta merasakan dan menilai sejauh mana manfaat yang dirasakan. Untuk mengukur manfaat pelatihan sebagaimana dijelaskan di atas, tentu dibutuhkan adanya alat atau instrumen. Instrumen dapat dibuat mengacu pada instrumen yang sudah pernah digunakan sebelumnya, atau disesuaikan dengan tujuan masing-masing.
Bagi saya pribadi, evaluasi terhadap manfaat yang dirasakan oleh peserta ini merupakan hal yang penting mengingat tujuan dari pelatihan itu sendiri yaitu untuk memberi nilai tambah bagi peserta. Selain itu, jika ternyata peserta tidak merasakan ada manfaat dari pelatihan yang diikutinya, ini bisa dijadikan bahan evaluasi oleh penyelenggara. Bisa jadi peserta tidak merasakan ada manfaat karena pelatihan yang diberikan tidak sesuai dengan kebutuhan atau bidang tugasnya, karena kurikulum atau materi yang sudah out of date, dan berbagai kemungkinan lainnya. Informasi mengenai hal ini tentu sangat bermanfaat bagi perbaikan dan peningkatan kualitas penyelenggaraan pelatihan.
REFERENSI
- Hutomo, P. T. (2010). Tantangan Manajemen Sumber Daya Manusia Era Abad 21. Palu: Edukasi Mitra Grafika.
- Noe, R. A. (2010). Employee Training and Development. New York: McGraw Hill/Irwin.
- Noe, R. A., Hollenbeck, J. R., Gerhart, B., & Wright, P. M. (2013). Manajemen Sumber Daya Manusia: Mencapai Keunggulan Bersaing. Jakarta: Salemba Empat.
- Riaz, A., Idrees, R. N., & Imran, A. (2014). Employees' belief regarding training benefits and organizational commitment: A case in banking sector of Pakistan. Middle-East Journal of Scientific Research, 16(3), 310-318.