NTERNALISASI NILAI AGAMA,BUDAYA DAN KEARIFAN LOKAL PADA TRADISI BA AYUN MAULID MASYARAKAT BANJAR
Oleh Yasir Arafat HZ
( Widyaiswara pada BDK Banjarmasin )
Agama dan budaya adalah dua hal yang saling berinteraksi dan saling mempengaruhi. Pertama, agama mempengaruhi kebudayaan dalam pembentukannya. Nilainya adalah agama, tetapi simbolnya adalah kebudayaan. Kedua, budaya dapat mempengaruhi simbol agama. Ketiga, kebudayaan dapat mengganti sistem nilai dan simbol agama ( Kuntowijoyo:2001).
Agama maupun kebudayaan, pada prinsipnya sama-sama memberikan wawasan dan cara pandang dalam menyikapi kehidupan agar sesuai dengan kehendak Tuhan dan kemanusiaan. Misalnya, dalam menyambut anak yang baru lahir, Islam memberikan wawasan untuk melaksanakan tasmiyah (pemberian nama) dan aqiqah (penyembelihan hewan) bagi anak tersebut. Sementara kebudayaan lokal masyarakat Banjar yang dikemas dalam bentuk tradisi maayun atau baayun anak yang kemudian disandingkan dengan peringatan kelahiran Nabi Muhammad saw., atau maulid rasul (sehingga kemudian berubah menjadi baayun maulid) memberikan wawasan dan cara pandang lain, tetapi memiliki tujuan yang sama, yaitu mendoakan agar anak yang diayun menjadi anak yang berbakti, anak yang saleh, dan anak yang mengikuti Nabi Muhammad saw., sebagai uswah hasanah dalam kehidupannya kelak. (Zulfa Jamalie:2014)
Baayun maulid semula merupakan upacara peninggalan nenek moyang orang Banjar ketika masih beragama Kaharingan. Tradisi ini semula hanya ada di Kabupaten Tapin (khususnya di Desa Banua Halat Kecamatan Tapin Utara) kemudian berkembang dan dilaksanakan di berbagai daerah di Kalimantan Selatan (Usman:2000).
Tradisi baayun maulid ini dapat dianggap sebagai penanda konversi agama orang-orang Dayak yang mendiami desa Banua Halat dan daerah sekitarnya, yang semula beragama Kaharingan kemudian memeluk agama Islam. Hal ini berkat perjuangan dakwah para ulama, akhirnya tradisi tersebut bisa “diislamisasikan”. Jika sebelumnya tradisi baayun diisi dengan bacaan-bacaan balian, mantra, doa dan persembahan kepada para dewa dan leluhur, atau nenek moyang di Balai, akhirnya digantikan dengan pembacaan syair-syair maulid yang berisi sejarah, perjuangan dan pujian terhadap Nabi Muhamma saw. Tradisi baayun maulid mempunyai kaitan yang kuat dengan sejarah masuknya Islam di desa Banua Halat dan daerah sekitarnya. Tradisi ini sarat dengan nilai, filosofis, akulturasi, dan prosesi budaya yang unik.
Baayun maulid merupakan kebudayaan masyarakat Banjar yang merupakan akulturasi antara tradisi nenek moyang suku Banjar dengan agama Islam. Dilaksanakan dengan format yang sama, tetapi dengan substansi yang berbeda. Tradisi baayun merupakan kegiatan adat mengayun bayi atau anak yang diiringi dengan pembacaan syair salawat Nabi. Pelaksanaan tradisi ini biasanya dipimpin seorang tokoh ulama. Gambaran kedekatan secara emosional masyarakat Banjar dengan ulama, terlihat ketika tokoh ulama memimpin kegiatan baayun maulid. Mereka sangat hormat, patuh dan menghargai tokoh tersebut. Dan kegiatan baayun maulid biasanya diiringi juga oleh kesenian musik rebana.
Sejak tahun 1990 tradisi Baayun maulid sudah masuk dalam kalender Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Provinsi Kalimantan Selatan. Setiap tahun tradisi ini dilaksanakan bertepatan dengan peringatan maulid Nabi Muhammad saw.,tanggal 12 Rabiul Awal. Tidak hanya untuk peserta anak-anak atau balita, tetapi diikuti oleh remaja, dewasa bahkan orang tua. Pada tahun 2019 dilaksanakan dan pesertanya mencapai 500 orang bertempat di Kubah Basirih kota Banjarmasin. Peserta termuda berumur 3 hari dan peserta tertua berumur 70 tahun. Baayun maulid pada prinsipnya adalah sebuah kearifan lokal yang menjadi tradisi masyarakat Banjar, yang bernafaskan atau mengandung unsur-unsur dakwah Islam.
Pada tradisi baayun maulid ini, disiapkan peralatan sebagai berikut:
- Ayunan, (baayun) yang sudah dihiasi dengan berbagai ornamen yang didominasi warna-warna cerah (kuning dan merah). Pada ayunan digantungkan juga kambang barenteng sebagai pelengkapnya.
- Piduduk, yang merupakan syarat upacara berupa bahan-bahan sembako mentah, seperti: beras, gula merah, serta garam. Jika peserta baayun maulid anak perempuan maka ditambah dengan minyak goreng.
- Makanan, berupa makanan masak, seperti: telur, nasi ketan, dan dilengkapi dengan kue-kue; apem, cucur, pisang, dan tape ketan. Semua makanan tersebut disimpan dan diletakkan dalam satu wadah khusus.
Apabila kita menganalisis pendapat Koentjoroningrat (1984), berkenaan dengan nilai yang terdapat dalam sebuah budaya, maka tradisi baayun maulid, setidaknya masuk pada nilai budaya yang dikelompokkan ke dalam lima pola hubungan, yakni: 1) Nilai budaya dalam hubungan manusia dengan Tuhan, 2) Nilai budaya dalam hubungan manusia dengan alam, 3) Nilai budaya dalam hubungan manusia dengan masyarakat, 4) Nilai budaya dalam hubungan manusia dengan orang lain atau sesama, 5) Nilai budaya dalam hubungan manusia dengan dirinya sendiri.
Pendapat di atas didukung oleh Noor (2003), yang menyatakan bahwa suatu sistem nilai yang dipertahankan dalam sebuah masyarakat sering menyangkut apa yang menjadi fungsi dasarnya bagi struktur masyarakat tersebut. Dalam kasus masyarakat Banjar yang secara historis selalu diidentikkan dengan Islam misalnya. Islam tentunya, disini tampil sebagai pencerminan suatu sistem nilai yang dipegang oleh masyarakat Banjar. Artinya, dalam banyak hal perilaku-perilaku orang Banjar dapat dicarikan referensi perilaku, fungsi keberislaman oleh masyarakat Banjar akhirnya menjadi simbol identitas yang membedakan dengan kelompok lainnya.
Baayun Maulid sebuah kearifan lokal yang menjadi tradisi masyakat Banjar. Tradisi ini harus dirawat dan dilestarikan, agar generasi milenial memahami nilai-nilai yang terkandung didalamnya. Perlu lagi digali dan dikembangkan nilai-nilai lainnya guna membentuk sebuah karakter (watak, akhlak dan keperibadian). Dalam budaya masyarakat Banjar kegiatan komunitarisme tergambar pada kegiatan-kegiatan sosial kemasyarakatan dalam hal gotong royong, seperti pelaksanaan baayun maulid. Sebelum pelaksanaan baayun maulid dimulai dilakukan musyawarah warga masyarakat, karena yang terlibat adalah masyarakat, maka secara otomatis kegiatan ini mengundang massa untuk bekerja sama. Semua warga masyarakat yang terlibat dalam kegiatan ini memiliki hak dan kewajiban, sehingga harus saling membantu.
Maka benarlah apa yang dikatakan oleh Moeis (2009), bahwa nilai-nilai yang menjadi salah satu unsur sistem budaya, merupakan konsepsi abstrak yang dianggap baik dan amat bernilai dalam hidup, yang kemudian menjadi pedoman tertinggi bagi kelakuan dalam suatu masyarakat.
Jadi intinya, sebuah tradisi yang tidak merusak akidah dapat dibiarkan tumbuh dan berkembang dengan baik. Apalagi memiliki nilai-nilai agama, budaya dan kearifan lokal yang sarat dengan ketaatan, kebaikan, keteladanan dan kemaslahatan.
DAFTAR RUJUKAN
Kuntowijoyo,2001. Muslim Tanpa Masjid: Esai-Esai Agama, Budaya, dan Politik dalam Bingkai Strukturalisme Transendental. Bandung: Mizan.
Koentjoroningrat,1984. Kebudayaan Jawa. Jakarta: Balai Pustaka.
Noor, Irfan. 2003.Ulama dan Masyarakat Banjar : Dalam Jurnal Kandil Melintas Tradisi Edisi 1, Tahun I / Mei 2003.
Pamator Moesis, Syarif. 2009. Pembentukan Kebudayaan Nasional. Makalah: Bandung. Universita Pendidikan Indonesia.
Usman,A Gazali, 2000. Tradisi Baayun Mulud 12 Rabiul Awal di Mesjid Karamat Banua Halat Rantau Kabupaten Tapin. Banjarmasin; Pemerintah Daerah Tingkat II Tapin.
Zulfa Jamalie : Akulturasi Dan Kearifan Lokal Dalam Tradisi Baayun Maulid Pada Masyarakat Banjar: Jurnal el Harakah Vol.16 No.2 Tahun 2014