RUH
Amal yang kosong dari ikhlas sama sekali tidak berarti bagaikan jasad tanpa ruh.
Keikhlasan merupakan ruh yang menjadikan setiap amal bermakna.
(Syekh Ibnu Athaillah-Pengarang Kitab Al Hikam)
Menurut perspektif tasawuf, disamping istilah an-nafs dan ruh, juga ditemukan istilah al-qalb dan al-‘aqal. Empat istilah tersebut mempunyai hubungan yang erat sekali. Perbedaannya terletak pada penggunaan arti.
Para sufi mengartikan an-nafs sebagai sumber moral yang tercela, sedangkan ruh adalah sumber kehidupan dan sumber moral yang baik. Ruh juga sesuatu yang halus, bersih, dan bebas dari pengaruh hawa nafsu yang merupakan rahasia Allah swt., yang hanya bisa diketahui oleh manusia tertentu setelah Allah swt., memberikan kasyf ( gambar yang terbayang) kepadanya.
Al-qalb atau kalbu diartikan sebagai wadah untuk makrifat, suatu alat untuk mengetahui hal-hal yang bersifat ilahiah. Ini memungkinkan jika hati telah bersih sebersih bersihnya dari hawa nafsu,melalui pola hidup zuhud,wara’ dan dzikir secara terus menerus. Sedangkan, al-‘aqal atau akal diartikan sebagai alat untuk mengetahui ilmu yang diamati dari pancaindra atau dari hal-hal yang lahir. Karena itu, tingkatnya berada di bawah tingkatan al-qalb.
Manusia lahir dalam dua dimensi, yaitu dimensi Rabbani yang mendorong dan mengajak untuk melakukan ketakwaan, dan dimensi ardhi yang selalu mendorong, memaksa, dan mempengaruhi melakukan kefasikan. Sebagaimana firman Allah swt., “ Fa al hamaha fujuraha wataqwaha” – maka Allah mengilhamkan kepada jiwa itu jalan yang fujur (kefasikan) dan ketakwaan.
Ketika ruh dicampurkan dengan sesuatu yang tidak baik maka sifat-sifat ketakwaannya terpenuhi dengan unsur-unsur yang tidak baik pula. Ruh yang sudah tercemari dengan hal yang buruk dan menyatu dengan fisik atau jasad menjadi dua karakteristik yang berlawanan, yaitu antara ketakwaan dan kefasikan.
Maka beruntunglah manusia yang dapat mempertahankan dan meningkatkan ketakwaannya, maka ia akan lebih mulia daripada malaikat. Sebaliknya jika manusia memperturutkan hawa nafsu dan menghadirkan sifat kefasikan dalam kehidupannya, maka ia sangat rugi, ia lebih hina dan lebih buruk dari setan dan hewan.
Karena itulah mengapa ketika kita “pulang” kepada Allah swt., bukan cuma ruhnya melainkan jiwanya juga, sebab jika kalau ruhnya saja yang kembali sama sekali tidak membawa apa-apa. Manusia “pulang” kepada Allah swt.,akan membawa an-nafs yang didalamnya terdapat amal kebaikan dan amal keburukan dan yang akan menentukan apakah dia berhak di surga atau di neraka.
Yasir Arafat HZ