RUMAH MODERASI BERAGAMA (Wadah Penguatan Moderasi Beragama Menangkal Intoleransi dan Radikalisme)

RUMAH MODERASI BERAGAMA (Wadah Penguatan Moderasi Beragama Menangkal Intoleransi dan Radikalisme)

Oleh H. Yasir Arafat, M.Pd

(Kordinator Tim Rumah Moderasi BDK Banjarmasin)

 

A.      Pendahuluan

   Presiden Joko Widodo telah menandatangani Peraturan Presiden Nomor 7 tahun 2021 tentang Rencana Aksi Nasional Pencegahan dan Penanggulangan Ekstremisme Berbasis Kekerasan yang mengarah pada Terorisme 2020-2024 ( selanjutnya disebut Perpres RAN PE).

   Perpres RAN PE tersebut mengatur koordinasi antar Lembaga dan Kementerian serta pelibatan elemen masyarakat dalam rencana aksi nasional. Perpres RAN PE memuat kebijakan yang berisi lebih dari 125 rencana aksi dan dijalankan lebih dari 20 Kementerian/Lembaga. Perpres RAN PE juga mengapresiasi pelibatan masyarakat sipil dalam upaya pencegahan ektremisme berbasis kekerasan. Dengan adanya Perpres RAN PE tersebut, negara hadir dan mengundang partisipasi masyarakat untuk menanggulangi kekerasan ekstremisme dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.

   Perpres RAN PE mencakup 3 (tiga) pilar, meliputi Pilar Pencegahan, yang mencakup kesiapsiagaan, kontra radikalisasi, dan deradikalisasi. Pilar Penegakan Hukum, meliputi perlindungan saksi dan korban, dan penguatan kerangka legislasi nasional, dan Pilar Kemitraan, dan kerja sama internasional.

    Senada dengan dikeluarkannya Perpres RAN PE, Menteri Agama dalam sambutannya pada buku: “Moderasi Beragama Di Indonesia Jilid 5” (2:2021) menyatakan bahwa bangsa Indonesia dibangun oleh para founding fathers and mothers yang dengan jujur mau berdialog dan berkomunikasi satu sama lain. Mereka yang berasal dari latar belakang yang beragam, seperti suku, golongan, bahasa dan agama mampu menurunkan ego pribadi demi negara-bangsa yang dicita-citakan bersama. Fakta sejarah tentang keragaman para pendiri  bangsa ini harus disadari bersama oleh semua warga negara. Tidak boleh ada satu pihak pun yang mengklaim paling berjasa dalam membangun bangsa atas nama apa pun. Semua anak bangsa perlu menyadari dan mengelola fakta keragaman ini agar menjadi bangsa yang maju. Keragaman adalah berkah, bukan musibah. Tentu saja hal ini tidaklah mudah seiring dengan perkembangan jaman terutama ketika saat ini kita memasuki Revolusi Industri 4.0 di mana dunia seperti desa global yang terhubung melalui teknologi informasi dan komunikasi. Revolusi ini telah memberikan kemudahan sekaligus tantangan. Di satu sisi, revolusi Industri melahirkan banyak terobosan (breakthrough) terutama kecerdasan buatan (artificial intelligence) di mana dunia seakan berada di genggaman kita melalui smartphone . Namun di sisi lain kemajuan teknologi ini menjadikan setiap orang terhubung dengan banyak identitas lain, seperti budaya dan pemahaman agama yang belum tentu relevan untuk konteks keindonesiaan.

      Meski sudah ada Perpres RAN PE, sambutan Menteri Agama dan pidato beberapa tokoh agama, tetapi potensi intoleransi dan ancaman radikalisme tetap masih ada dan patut di waspadai. Ancaman gerakan dan atau paham radikal ini perlu dicegah, salah satunya dengan cara deradikalisasi.

     Menurut AS. Hikam (dalam Siti Markamah: 2021:163). Deradikalisasi adalah proses merubah sistem kepercayaan individual, menolak ideologi ekstremis dan mengurung nilai-nilai utama. Dalam pemahaman sederhana, deradikalisasi adalah sebuah upaya sistematis untuk mengubah mindset, ideologi, pemikiran, dan pemahaman seseorang yang awalnya radikal menjadi tidak radikal lagi.   

Langkah yang dapat dilakukan melalui pendekatan-pendekatan humanistik dan  secara terencana melakukan sosialisasi, edukasi, dan pelatihan yang  melibatkan seluruh lapisan masyarakat, baik yang belum atau yang telah terpapar paham radikal.

B.       Pembahasan

    Radikalisme berasal dari kata radik atau radikal yang berarti prinsip dasar. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia radikal dapat berarti: secara menyeluruh, habis-habisan, amat keras, dan menuntut perubahan. Selain itu ada beberapa pengertian radikalisme dalam kamus bahasa, yakni: (1) paham atau aliran yang radikal dalam politik, (2) paham atau aliran yang menginginkan perubahan sosial dan politik dengan cara kekerasan, (3) Sikap ekstremdi suatu aliran politik ( https:// kbbi.kemdikbud.go.id)

Dengan demikian radikalisme merupakan sebuah gejala yang bersifat umum dan dapat terjadi di masyarakat dengan berbagai macam motif. Bisa pada aspek budaya, sosial, politik, dan bahkan agama. Indikatornya ditandai dengan tindakan anarkis sebagai bukti penolakan terhadap gejala yang terjadi. Ironisnya, paham ini banyak digunakan para oknum yang mengatasnamakan agama dengan melakukan tindakan teror.

Sejatinya melawan radikalisme bukanlah dengan tindakan radikal, namun dengan tindakan moderat. Pemahaman beragama yang moderat dapat menjadi alternatif terbaik menangkal radikalisme yang terjadi di masyarakat.

     Kementerian Agama telah memberi batasan dan definisi yang gamblang tentang moderasi beragama, yaitu cara pandang, sikap dan praktik beragama dalam kehidupan bersama dengan cara mengejawantahkan esensi ajaran agama yang melindungi martabat kemanusiaan dan membangun kemaslahatan berlandaskan prinsip adil, berimbang dan menaati konstitusi sebagai kesepakatan berbangsa.

    Salah besar jika ada yang mencoba memoderasi agama. Bukankah agama itu sudah moderat? Yang dilakukan adalah memoderasi pemahaman dan pengalaman kita dalam beragama. Semua agama pasti mengajarkan sesuatu yang bersifat universal, seperti berbuat adil, menebar kasih dan sayang, menolak kekerasan, menjauhi sifat munafik dan mengklaim sebagai hamba Tuhan yang cinta terhadap ciptaan-Nya.

    Bagi masyarakat Indonesia yang terkenal plural dan multikultural, maka cara pandang moderasi beragama menjadi sangat urgen, agar masing-masing dapat menahan diri dan melakukan dialog keragaman seperti, budaya, bahasa, filsafat hidup, maupun adat istiadat. Juga bisa mendialogkan keberagamaan, misalnya tentang toleransi dalam beragama.

    Masing-masing umat beragama meyakini dan taat pada pokok-pokok ajaran agamanya, tetapi tetap mampu berdialog dan bekerjasama dengan yang berbeda agama. Munculnya kasus-kasus yang berlatar belakang agama menunjukkan bahwa bangsa Indonesia masih perlu lebih menguatkan jati dirinya untuk hidup dalam rumah keragaman.

    Akar pemicu konflik memang tidak selalu sama. Ada yang dipicu oleh kesenjangan ekonomi, sosial-budaya atau perseteruan di ranah politik. Namun demikian, konflik bernuasa agama beberapa tahun terakhir menunjukkan betapa pemahaman agama masyarakat menjadi salah satu pemicu lahirnya konflik. Amatlah sangat disesalkan. Agama yang seharusnya menjadi perekat sosial pada kenyataannya menjadi bagian dari faktor pemicu berbagai konflik.

     Agama memiliki kedudukan dan peran strategis dalam kehidupan bangsa Indonesia. Agama mengajarkan kebaikan, ketulusan dan cinta kasih kepada sesama manusia, bahkan terhadap makhluk lain ciptaan Tuhan. Agama memiliki dua “wajah”. Pada satu sisi ia bersifat eksklusif (tertutup) dan pada sisi lain bersifat inklusif (terbuka). “Wajah” agama harus digunakan sesuai dengan konteksnya. Kekeliruan dalam penggunaannya akan berakibat fatal.

    Keragaman agama yang ada di Indonesia memang potensial terjadi konflik bernuansa agama. Hal ini dapat terjadi karena masih ada individu atau kelompok yang belum bisa toleran dan menerima perbedaan. Istilah toleransi bisa diartikan sebagai kelapangan dada, artinya menerima dengan tulus hati. Lapang dada atau menerima dengan tulus hati adalah sebuah sikap bijak yang ditujukan kepada orang lain apapun suku, bahasa dan agama yang dianutnya.

     Meski pun Indonesia bukan negara agama, tetapi semua aspek kehidupan sehari-hari, baik bermasyarakat dan bernegara tidak bisa dilepaskan dari nilai-nilai agama. Sehingga secara umum masyarakat Indonesia dikenal sangat relijius.

    Para tokoh agama dan penyuluh agama bersinergi mengedukasi kelompok atau jamaahnya agar menginternalisasi nilai-nilai luhur yang terkandung di dalam agama, guna terbentuk karakter bangsa Indonesia yang berakhlak mulia, bermoral, beretika, berbudaya dan beradab.

Internalisasi nilai-nilai agama diharapkan dapat memperkokoh komitmen persatuan dan kebangsaan. Sehingga nilai-nilai yang ditanamkan itu harus bersifat inklusif, toleran, rukun, nirkekerasan, mau menerima perbedaan, serta saling menghargai keragaman.

Inilah sesungguhnya pesan yang terkandung dalam moderasi beragama, yakni kembali pada esensi agama untuk menjunjung tinggi harkat dan martabat kemanusiaan. Moderasi beragama memiliki prinsip dasar, yaitu: keseimbangan, kesederhanaan, kesantunan, dan persaudaraan.

    Keberagamaan yang moderat sangat penting untuk membangun Indonesia yang harmonis,  merawat keragaman dan memberikan penghargaan yang seting-tingginya pada pluralitas. Oleh karena itu, menyertakan perspektif moderasi beragama di dalam upaya peningkatan dan pemahaman keberagamaan harus menjadi agenda utama, terutama di Kementerian Agama.

       Kehadiran “Rumah Moderasi Beragama” sebagai wadah penguatan moderasi beragama menangkal intoleransi dan radikalisme sangatlah penting. Idealnya di setiap sekolah/madrasah maupun kampus dan perkantoran diharapkan mengakomodir pembentukannya.

   Pengurus “Rumah Moderasi Beragama” adalah para alumni pelatihan atau bimtek penguatan moderasi beragama. Ilmu, pengetahuan, dan pengalaman selama mengikuti pelatihan atau bimtek dapat didiseminasikan kepada masyarakat secara luas, terutama untuk guru, dosen dan ASN/NPASN di Kementerian Agama.

  Beberapa sekolah/madrasah/kampus/instansi sudah membentuk “Rumah Moderasi Beragama”, tak terkecuali di Balai Diklat Keagamaan Banjarmasin.  Hal ini tentu saja merupakan ikhtiar untuk membantu pemerintah dalam “membumikan” moderasi beragama di setiap lini kehidupan.

    Dengan semakin banyak dibentuknya “Rumah Moderasi Beragama” diharapkan dapat mencegah berkembangnya cara pandang dan cara praktik agama yang ekstrem. Dan menghapus atau meminimalisir klaim kebenaran subjektif dan pemaksaan tafsir agama terhadap agama.

    Jika kita telaah kembali  Perpres RAN PE, maka pelibatan masyarakat sipil dalam upaya pencegahan ektremisme berbasis kekerasan merupakan partisipasi masyarakat untuk menanggulangi kekerasan ekstremisme dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.

    Selain Perpres RAN PE, melalui KMA 184 Tahun 2019 Kemenag juga mendorong madrasah untuk melakukan beberapa langkah inovasi dan penguatan siswa di madrasah pada konteks penguatan moderasi beragama, pendidikan karakter, pendidikan anti korupsi, literasi dan penguatan akhlak siswa di madrasah.

Moderasi beragama menjadi entry point yang ingin diteguhkan pada diri siswa madrasah, agar tercipta output madrasah yang memiliki sikap dan perilaku toleran, mengakui keberadaan pihak lain, penghormatan terhadap perbedaan pendapat dan tidak memaksakan kehendak dengan cara nirkekerasan. Moderasi beragama sebagai output yang sangat dibutuhkan pada era milenial saat ini. 

     Tidak salah jika Menteri Agama mengeluarkan Keputusan Menteri Agama (KMA) Nomor 529 Tahun 2021 tentang Kelompok Kerja (Pokja) Penguatan Program Moderasi Beragama pada Kementerian Agama. Substansi tujuan dibentuknya Pokja tersebut dapat dijadikan bahan kajian mendalam  bagi siapa saja. Apalagi moderasi beragama menjadi program prioritas dalam pembangunan di bidang agama sesuai dengan RPJMN 2020-2024.

C.        Penutup

    Penguatan moderasi beragama pada dasarnya ingin mewujudkan ketertiban dalam masyarakat menjalankan agama dan keyakinannya dan melindungi hak-hak pemeluk agama dalam menjalankan kebebasan beragama dan keyakinannya masing-masing.

  Penguatan moderasi beragama tidak cukup dilakukan secara personal atau individual, melainkan harus melibatkan semua lapisan dan kalangan. Tidak bisa selalu formal, bisa juga dilakukan dengan cara nonformal. Pembentukan dan kehadiran “Rumah Moderasi Beragama” dapat menjadi alternatif penguatan moderasi beragama bagi guru,dosen atau ASN/NPASN di Kementerian Agama.

 

Daftar Pustaka

 

  • https:// kbbi.kemdikbud.go.id
  • Keputusan Menteri Agama (KMA) Nomor 529 Tahun 2021 tentang Kelompok Kerja (Pokja) Penguatan Program Moderasi Beragama pada Kementerian Agama.
  • Keputusan Menteri Agama (KMA) 184 Tahun 2019 tentang Pedoman Implementasi Kurikulum Pada Madrasah.
  • Muhammad Qowim, dkk. 2021. Moderasi Beragama Di Indonesia Jilid 5 (Kebangsaan, Kebudayaan dan Keislaman. Penerbit Azkiya Publishing: Bogor.
  • Peraturan Presiden Nomor 7 tahun 2021 tentang Rencana Aksi Nasional Pencegahan dan Penanggulangan Ekstremisme Berbasis Kekerasan yang mengarah pada Terorisme 2020-2024.
  • Siti Markamah, 2021. Deradikalisasi dan Penegakan Konstitusi Berkeadaban. Penerbit Azkiya Publishing: Bogor.