Titik Temu Agama-Agama di Indonesia / Esensi Internalisasi Nasionalisme Berbasis Nilai-Nilai Agama (Surya Subur)

Titik Temu Agama-Agama di Indonesia / Esensi Internalisasi Nasionalisme Berbasis Nilai-Nilai Agama (Surya Subur)

Pendahuluan

            Pluralism merupakan istilah yang disandangkan kepada bangsa besar ini, bangsa yang mempunyai tidak hanya ribuan pulau namun juga ribuan sukur bangsa, dan berbagai agama dunia ada disini yaitu bangsa Indonesia. Namun istilah tersebut tidak membuat bangsa ini bercerai-berai karenanya. Bahkan dengan begitu beragamnya membuat bangsa ini semakin harmonis dan indah. Harmonisasi kehidupan berbangsa dan keindahan ragam pesona budaya, bahasa dan tutur tradisi. Pertanyaan yang mendasar yang wajar dipertanyakan oleh semua pihak di luar sana tentang bangsa ini, mengapa bisa seperti ini? Hal penting yang hendaknya difahami oleh mereka yang mencari akar musabab itu, tentu adalah aspek manusianya. Manusia Indonesia adalah manusia yang memiliki hati nurani. Agak sedikit melo menakala menuliskan ini, seakan bangsa yang lain itu tidak mempunyai hati nurani. Hati yang dimaksud adalah hati yang bisa disatukan oleh sebuah system kebangsaan dan kenegaraan yang hebat yang dicetuskan oleh pendahulu bangsa ini melalui pemikiran cerdas yang bermuara pada kebersihan hati nurani para pejuang. Hasil pemikiran cerdas dan bermuara pada hati yang bening ini telah melahirkan pedoman kehidupan berbangsa dan bernegara  bagi bangsa besar ini yaitu Pancasila.

            Pancasila yang dirumuskan melalui sidang BPUPK I (29 Mei – 1 Juni 1945) saat tokoh-tokoh nasional ini mencari bentuk dasar negara yang akan dibentuk. Mengacu pada pidato Ir. Soekarno tanggal 1 Juni 1945 yang merincikan butir-butir pikirannya ke dalam 5 pokok pikiran yang beliau beri nama Pancasila. Maka Pancasila setelah itu menjadi pokok pembicaraan yang intens dan mendalam sehingga menghasilkan rumusan Pancasila sebagaiama yang kita ketahui hingga sekarang ini.

            Pancasila yang menjadi dasar negara telah memberikan inspirasi menyeluruh kepada bangsa Indonesia, yakni sebagai pedoman berbangsa dan bernegara dan mampu menyatukan bangs aini ke dalam satu kesatuan yang kokoh. Kesatuan kokoh ini didasari atas kehidupan yang saling meyayangi antar suku bangsa dengan hati. Pancasila mampu menyatukan hati para menganut agama-agama di Indonesia. Melalui sila pertama Ketuhanan Yang Mahaesa, yang mengandung filosofi bahwa ini hidup dengan keberagamaannya masing-masing. Ketuhanan yang maha esa mampu menjadi perekat anak bangs aini berada pada rumah besar Indonesia.   

Permasalahan

            Permasalahan yang muncul dari implementasi Pancasila sebagai perekat atau titik temu agama-agama di Indonesia adalah tingkat pemahaman yang berbeda di kalangan masyarakat Indonesia dalam menafsiri sila-sila dalam Pancasila. Karenanya tetap diperlukan upaya sosialisasi nilai-nilai Pancasila ini kepada masyarakat luas. Upaya menanamkan nilai-nilai ini telah ditempuh oleh Pemerintah Indonesia melalui berbagai cara. Salah satunya adalah melakukan pelatihan internalisasi nasionalisme berbasis nilai-nilai agama. Mampukah program ini diterima dan diejawantahkan dalam kehidupan? Barangkali ini permasalahan yang tidak cukup dibahas dalam durasi tulisan yang sederhana ini.

Pembahasan

            Dalam kegiatan pelatihan Internalisasi Nasionalisme Berbasis Nilai-Nilai Agama, materi pelatihan  Pancasila sebagai titik temu agama di Indonesia oleh Dr. Syaiful Arif memberikan pandangan baru tentang keberadaan Pancasila saat ini. Bagaimana proses kelahirannya, hingga esensi filsafati dalam Pancasila tersebut. Gambaran selama ini tentang sosok pencetus Pancasila yaitu Ir. Soekarno dengan fakta sejarah yang lengkap dan dapat dipertanggungjawaban  mengubah pandangan yang sementara ini melekat dalam diri kita, yaitu Pancasila itu dicetuskan tidak saja oleh Ir. Soekarno, melainkan oleh Mr. Soepomo dan Mr. Moh. Yamin. Penjelasan yang sangat akurat dengan fakta-fakta sejarah hal itu telah terbantahkan bahwa kedua tokoh seperti Mr. Soepomo dan Mr. Moh. Yamin dalam pidatonya tidak pernah menyebut butiran pemikirannya sebagai butiran Pancasila.

Hal yang menarik juga didapatkan bahwa selama ini Pancasila hanyalah idiologi bangsa Indonesia yang memuat 5 sila sebagai dasar berbangsa dan bernegara telah membuka pandangan kita tentang aspek filosofis-nya yaitu ternyata Pancasila itu merupakan tuntunan Syariah terhadap bangsa ini. Artinya di dalam Pancasila dikandung nilai-nilai tauhid yang melandasi aspek syar’iyah dalam tatanan umat Islam. Soekarno mempunyai andil besar dalam meyakinkan panitia 8 agar diterimanya landasan filosofi Pancasila ini. Pada awalnya ada dua kubu yang tarik menarik terhadap konsep negara Indonesia yang akan dibentuk. Yaitu kubu islami dan kubu nasionalis. Kubu Islami menginginkan dasar negara adalah syariat Islam, sementara kubu nasionalis menghendaki negara dibangun berdasarkan rasa kebangsaan atau nasionalisme itu sendiri. Salah satu pidato beliau yang fenomenal dalam sidang BPUPK: “Prinsip yang kelima hendaknya: Menyusun Indonesia Merdeka dengan bertakwa kepada Tuhan yang Maha Esa. Prinsip Ketuhanan! Bukan saja bangsa Indonesia bertuhan, tetapi masing-masing orang Indonesia hendaknya bertuhan, Tuhannya sendiri. Yang Kristen menyembah Tuhan menurut petunjuk Isa al-Masih, yang Islam bertuhan menurut pentunjuk Nabi Muhammad SAW, orang Buddha menjalankan ibadatnya menurut kitab-kitab yang ada padanya. Hendaknya negara Indonesia ialah negara yang tiap-tiap orangnya dapat menyembah Tuhannya dengan cara yang leluasa. Segenap rakyat hendaknya bertuhan secara kebudayaan, yakni dengan tiada ‘egoisme agama’. Dan hendaknya Negara Indonesia satu negara yang bertuhan!” (Sukarno, pidato Sidang BPUPK, 1 Juni 1945).

Pidato ini menegaskan bahwa agama merupakan hal yang utama dalam idiologi bangsa. Indonesia harus dibangun sebagai negara yang bertuhan yaitu Ketuhanan Yang Mahaesa. Segenap warga Indonesia hendaknya bertuhan secara berkebudayaan, yakni saling menghormati antar agama, agama menjadi jati diri bangsa. Dalam kesempatan lain Ir. Soekarno mengatakan: “Marilah kita amalkan, jalankan agama, baik Islam, maupun Kristen, dengan cara yang berkeadaban. Apakah cara yang berkeadaban itu? Ialah hormat-menghormati satu sama lain. … Marilah kita di dalam Indonesia Merdeka yang kita susun ini, sesuai dengan itu, menyatakan: bahwa prinsip kelima daripada negara kita ialah ketuhanan yang berkebudayaan, ketuhanan yang berbudi pekerti yang luhur, Ketuhanan yang hormat-menghormati satu sama lain. Hatiku akan berpesta raya, jikalau saudara-saudara menyetujui bahwa Negara Indonesia Merdeka berazaskan Ketuhanan Yang Maha Esa!” (Sukarno, pidato Sidang BPUPK, 1 Juni 1945).

Perekat bangsa yang dituangkan dalam rumusan Pancasila itu telah menjadi pedoman yang disepakati oleh berbagai golongan dan kalangan pada masa itu sehingga jadilah Pancasila sebagai pedoman hidup bangsa bangsa Indonesa dalam hal berbangsa dan bernegara.

Dalam sebuah kesempatan Ir. Soekarno saat itu sebagai Presiden RI dalam sebuah pidatonya menyatakan: “Pada garis besarnya rakyat Indonesia ini percaya kepada Tuhan. Bahkan Tuhan yang sebagai yang kita kenal di dalam agama, agama kita. Dan formulering Tuhan Yang Maha Esa bisa diterima oleh semua golongan agama di Indonesia ini. Kalau kita mengecualikan elemen agama ini, kita membuang salah satu elemen yang bisa mempersatukan batin bangsa Indonesia dengan cara yang semesra-mesranya. Kalau kita tidak memasukkan sila ini, kita kehilangan salah satu leitstar yang utama. Sebab kepercayaan kita kepada Tuhan ini, bahkan itulah yang menjadi leitstar kita yang utama. Untuk menjadi satu bangsa yang mengejar kebajikan, satu bangsa yang mengejar kebaikan..” (Sukarno, Kursus Pancasila, 26 Mei 1958).

                Pidato yang mengokohkan pendapat Ir. Soekarno tentang Pancasila. Sila I, yang diyakini oleh semua elemen bangsa sebagai perekat pemersatu agama-agama di Indonesia. Kita akan kehilangan bintang terang manakala tidak mematuhi filosofi sila I sebagai arah berkehidupan bagi pemeluk agama di Indonesia.

Sebagai penguatan hasil pemikiran Soekarno, Dr. Mohammad Hatta mengatakan: Akibat daripada perubahan urutan sila yang lima itu, sekalipun ideologi negara tidak berubah karena itu, ialah bahwa politik negara mendapat dasar moral yang kuat. Ketuhanan Yang Maha Esa tidak lagi hanya dasar hormat-menghormati agama masing-masing, seperti yang dikemukakan oleh Bung Karno bermula, melainkan jadi dasar yang memimpin ke jalan kebenaran, keadilan, kebaikan, kejujuran dan persaudaraan. Negara dengan itu memperkokoh fundamennya. (Mohammad Hatta, Pengertian Pancasila, 1989: 30).

                Dari kutipan-kutipan di atas, semakin jelas bagi kita bahwa tokoh-tokoh nasionalisme bangs aini, telah berjuang sangat keras untuk meletakan dasar sebuah bangsa. Hal ini bisa fahami melalui sajian menarik pemateri dalam pelatihan internalisasi nasionalisme berbasis nilai-nilai agama ini. Sebagai salah satu cara menanamkan nilai-nilai Pancasila itu sebagai perekat atau titik temu agama di Indonesia. Sebuah terobosan sangat baik, manakala pelatihan Internalisasi Nasionalisme ini bisa menjangkau semua lapisan masyarakat. Materi-materi dalam pelatihan ini merupakan bagian yang tidak terpisahkan dengan konsep nasionalisme kebangsaan. Setiap warga masyarakat hendaknya menjadikan  ini sebagai bahan yang harus difahami dan diamalkan oleh setiap sesi kehidupan juga sebagai upaya membentuk mindset yang selama ini mempengaruhi pola pikir kita. Pengaruh Islam yang memang sudah kuat sejak dilahirkannya negara ini, haruslah diperkuat dengan memberikan informasi yang akurat tentang lahirnya Pancasila sebagai idiologi berbangsa dan bernegara. Indonesia bukan negara agama melainkan Indonesia adalah negara yang beragama. Masyarakat Indonesia adalah masyarkat yang agamis agar bisa hidup saling berdampingan antara satu dengan lainnya. Pemahaman ini hendaknya diperkuat dengan nilai-nilai tauhid yang tersirat di dalam sila Ketuhanan yang Mahaesa. Bagaimana kita mampu menanamkan ini kepada masyarakat inilah yang disebut dengan da’i-da’i Pancasila di masyarakat. Widyaiswara merupakan ujung tombak menanamkan nilai nasionalisme yang bersendikan tauhid ini. Karenanya harus mempunyai pengetahuan yang kuat terhadap agamanya. Dengan demikian mampu menjawab tantangan globalisasi yang banyak membawa isme-isme yang akan mengendorkan Pancasila sebagai idiologi bangsa.

Kesimpulan

            Upaya memasyarakatan Pancasila sebagai perekat atau titik temu agama-agama di Indonesia harusnya tidak saja dilakukan secara formal di Lembaga-lembaga pelatihan, namun bisa dilakukan dengan melakukan dialog-dialog antar masyarakat yang faham dengan Pancasila dan yang belum faham dengan cara yang intens dan terukur. Artinya pelaksanaannya tidak saja berbatas waktu melainkan kapan dan dimana saja. Untuk itu diperlukan pembentuka agen-agen Pancasila di setiap lini kehidupan. Di kalangan pemuda, organisasi-organisasi massa, di pasar-pasar, di kampung-kampung, dan perkotaan lainnya. Kegiatan yang berlangsung intens seperti ini akan memberikan takaran yang jelas atau terukur. Sehingga kita bisa membuat kalkulasi tingkat pemahaman masyarakat.

 

Bahan Bacaan

Agus Indiyanto, Agama Indonesia dalam Angka (Yogyakarta: Center for Religious and Crosscultural Studies,                 Gadjah Mada University, 2013).

Bagir, Zainal Abidin (2015). “Laporan Negara: Indonesia.” Dalam David Cohen and Kevin Tan (eds.), Keeping the           Faith: A Study of Freedom of Thought, Conscience, and Religion in ASEAN, hal. 1-108. Jakarta: Human               Rights Resource Centre.

Maarif, Samsul (2017). “Meninjau Ulang Definisi Agama, Agama Dunia, dan Agama Leluhur.” Dalam Ihsan Ali-              Fauzi, Zainal Abidin Bagir, dan Irsyad Rafsadie (eds.), Kebebasan, Toleransi dan Terorisme: Riset dan                  Kebijakan Agama di Indonesia, hal. 13-47. Jakarta: Pusat Studi Agama dan Demokrasi (PUSAD), Yayasan             Paramadina.

Maarif, Samsul. 2017. Pasang Surut Rekognisi Agama Leluhur dalam Politik Agama di Indonesia (Yogyakarta:             Center for Religious and Cross- cultural Studies, Gadjah Mada University).

Menchik,  Jeremy.  2016.  Islam  and  Democracy  in  Indonesia:  Tolerance without Liberalism. Cambridge                    University Press.

Yamin,  Muhammad  (1959).  Naskah  Persiapan  Undang-Undang  Dasar 1945. Jilid 1. Jakarta: Yayasan                       Prapanca