ULAMA YANG PUJANGGA

ULAMA YANG PUJANGGA

oleh :

Yasir Arafat HZ

Hujung akal itu pikir

Pangkal agama itu dzikir
(HAMKA)

 

     Nama lengkap Hamka adalah Prof.Dr.H.Abdul Malik Karim Amrullah. Lahir di Sungai Batang, Tanjung Raya, Maninjau Sumatera Barat pada 17 Februari 1908 dan wafat 24 Juli 1981. Beliau  pengarang, pemikir bebas, pujangga, sejarawan publik dan mufassir. Dalam dirinya menyatu talenta luar biasa, sebagai penulis produktif sekaligus penceramah yang ulung. 

     Lebih dari 100 karyanya, meliputi; agama, filsafat, sastra, tasawuf, sejarah, adat, fikih, teologi, dan sedikit mengenai politik. Itu belum termasuk ratusan karya ilmiah dalam bentuk skripsi, tesis, disertasi dan buku yang meneliti tentang pemikiran dan karya-karyanya. Tafsir al-Azhar adalah karya monumental Hamka. Ditulisnya dengan tekun di dalam tahanan kurang lebih dua tahun dengan kondisi kesehatan yang kurang prima. 

     Emhaf, dalam bukunya yang berjudul “ Hamka Filsuf Nusantara Terbesar Abad 20” menyatakan bahwa Hamka terinspirasi oleh tokoh-tokoh yang ditemuinya, entah itu dari cerita leluhurnya, pertemuan langsung, atau sebatas dari apa yang dibacanya. Dari Tuanku Imam Bonjol, Hamka belajar cara memasukkan Islam ke dalam adat istiadatnya yang mulai kolot dalam memandang kedudayaan. Melalui HOS Tjokroaminoto, ia belajar makna tentang hijrah, sebuah perjalanan yang bukan hanya sebatas perpindahan raga yang menempuh jarak, lebih dari itu adalah sebuah perpindahan batin yang menentukan kemanusiaan. Dari HOS Tjokroaminoto pula, ia mulai menanamkan nilai-nilai nasionalisme ke dalam dirinya.

     Pertama kali “mengenal” Hamka saat di Pondok Pesantren al-Falah Banjarbaru melalui karya-karyanya yang menjadi koleksi perpustakaan. Buku-buku beliau turut membuka cara berpikir saya tentang banyak hal. Seperti buku Ghirah, Tasawuf Modern, Hamka Kenang-Kenangan Hidup, Ayah (Kisah Buya Hamka) dan majalah Pandji Masjarakat. Namun yang paling berkesan adalah saat membaca novel-novelnya yang sarat dengan makna dan penuh gejolak jiwa. Misalnya : Tenggelamnya Kapal Van Der Wijck, Merantau ke Deli, Terusir, Di Bawah Lindungan Ka’bah, dan Tuan Direktur.

     Mari kita simak potongan novel Tenggelamnya Kapal Van Der Wijck, yang bisa membuat kita turut merasakan kesedihan tak bertepi dengan cara Hamka menuturkan drama kematian Hayati. Hari telah mulai malam, si sakit masih tidur dengan tenangnya. Zainuddin dan Muluk duduk menjaga dengan tidak mengingat kepayahan. Kira-kira pukul 10 malam dibukanya pula matanya. Bagi orang yang tahu dan biasa melihat tanda-tanda orang yang akan mati, telah kelihatan tanda-tanda itu. Cahaya matanya sudah tidak ada lagi, bibirnya surut ke atas. Diisyaratkanya dengan kepalanya menyuruh Zainuddin mendekatinya. Setelah dekat, dibisikkannya, “Zainuddin. Saya dengar perkataan Tuan Dokter…saya tahu bahwa waktu…saya…telah dekat”. “Tidak Hayati, kau akan sembuh, kita akan kembali ke Surabaya menyampaikan cita-cita kita, akan hidup beruntung berdua! Tidak… Hayati!. “Sabar Zain, cahaya kematian telah terbayang di mukaku! Cuma, jika kumati…hatiku telah tenang, sebab telah kuketahui bahwa engkau masih cinta kepadaku!”.

Beberapa menit kemudian dibukanya matanya kembali, diisyaratkannya pula supaya Zainuddin mendekatinya. Setelah dekat dibisikkannya, “Bacakanlah…dua kalimat suci…ditelingaku”. Tiga kali Zainuddin membacakan kalimat syahadat itu. Diturutkannya yang mula-mula itu dengan lidahnya, yang kedua dengan isyarat matanya, dan yang ketiga…dia sudah tidak ada lagi.

     Novel-novel Hamka menjadi salah satu bukti betapa luar biasa imajinasi yang dibangunnya, terutama dalam merangkaian kata dan kalimat puitis. Hamka melukiskannya dengan penuh perasaan, seolah-olah dirinyalah yang terlibat dalam paduan kasih itu.

Hamka adalah a great lover kata James R. Rush seorang Profesor sejarah di Arizona State Universitiy. Rush juga seorang penulis. Beberapa bukunya yang sangat mendunia, antara lain: Opium to Java, The Last Tree: Reclaiming the Environment in Tropical Asia, dan Hamka’s Great Story A Master Writer’s Vision of Islam for Modern Indonesia.

     Benar kata pepatah, gajah mati meninggalkan gading, harimau mati meninggalkan belang dan manusia mati meninggalkan nama dan kebaikan. Hamka telah mengukir namanya dan mewariskan kebaikan kepada kita. Karya-karyanya adalah kebaikan yang abadi dan akan menjadi amal jariyah, insyaAllah.